Social Icons

Pages

Rabu, 26 Agustus 2009

Fiqih Jihad Karya Yusuf Al-Qaradhawi (Sebuah Resensi Buku) IV

Pendekatan Al-Qardhawi dalam Memperkenalkan Fiqih Jihad
Yusuf Qardhawi

Yusuf Qardhawi

Kedudukan beliau, ulama, Al-Qardhawi, berbicara tentang pendekatannya dalam bukunya yang – sangat diharapkan – nyaman dan bermanfaat, mengatakan bahwa hal itu terletak pada enam pilar: yaitu, Al-Qur’anul karim, Sunnah yang suci, dan kekayaan Fiqih Islam. Selain itu, beliau mengatakan bahwa pendekatannya juga dibangun untuk membuat perbandingan antara undang-undang Ilahiyah dan sistem (hukum) positif, dengan memperhatikan realitas kontemporer di mana manusia hidup. Oleh karena itu, beliau juga mengadopsi pendekatan yang moderat sebagaimana yang selalu dia lakukan di setiap bukunya, penelitiannya, dan fatwanya. Dalam hal ini, Syeikh mengatakan,

Pendekatan yang saya adopsi dalam menulis buku ini tergantung pada sekelompok elemen:

Pertama, terutama bergantung pada teks-teks dari Al-Qur’anul karim, karena ini merupakan sumber yang pertama dan terpenting dalam Islam, di mana ini adalah kepastian dan tidak dapat dibantah. Hal ini telah dibuktikan secara pasti untuk menjadi (sumber yang) otentik/asli melalui sebuah mata rantai yang handal (tidak diragukan) dan tanpa ada gangguan, dihafal dalam hati, dilantunkan dengan ruh, dan ditulis dalam mushaf (salinan Al-Qur’an). Di sana tidak ada pertentangan tentang hal ini di kalangan para ulama.

Dari Al-Qur’an, kita bisa mendapatkan asli atau tidaknya (otentikasi/keaslian) sumber-sumber lain, termasuk sunnah Nabi itu sendiri. Oleh karena itu, keaslian dari Sunnah didirikan berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, kita memahami Al-Qur’an dalam terangnya gaya ekspresi, dengan bahasa literal dan metaforanya, mempertimbangkan urutan dan konteks, menghindari (penafsiran) yang dibuat-buat dan sembarangan, dan menyesuaikan teks-teks, yakin bahwa ayat-ayat dalam kitab yang mulia ini saling menegaskan kebenaran antar satu sama lain, dan saling menjelaskan satu sama lain.

Kedua, gambaran pada narasi-narasi Sunnah yang terjamin yang benar-benar asli disampaikan dari Nabi SAW. Hal ini termasuk apa-apa yang beliau katakan, perbuatannya, dan persetujuannya yang telah disampaikan dalam hadits-hadits dengan mata rantai narasi yang dapat dipercaya (shahih), tanpa ada missing link, keganjilan, dan faktor-faktor yang mengacaukan.

Selain itu, hadits-hadits tersebut tidak boleh kontradiksi dengan yang lebih kuat dan lebih otentik: ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits lain, atau apa-apa yang telah didirikan atas dasar pengetahuan dan alasan. Jadi, mereka harus ilustratif terhadap apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, dan harus berjalan sesuai dengan Kitab dan neraca (keadilan) yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa.

Ketiga, penggunaan dari perbendaharaan fiqih Islam dan gambaran pada sumber daya nya yang melimpah, dengan tanpa bias dalam mendukung fiqih mazhab tertentu melawan mazhab yang lain, atau secara eksklusif berpegang teguh pada satu imam seraya mengabaikan imam yang lainnya. Sebaliknya, kita harus mempertimbangkan warisan yang besar ini untuk dimiliki oleh semua peneliti, sehingga mereka dapat menyelidiki hingga ke dalamnya, mengerti rahasia-rahasianya, dan memanfaatkan berbagai simpanan yang tersembunyi di dalamnya.

Ketika melakukan hal tersebut, seorang peneliti harus membandingkan berbagai sudut pandang yang berbeda, tanpa mengambil posisi fanatik dalam mendukung pendapat tertentu, atau secara permanen mengikuti mazhab tertentu. Kita dapat mengambil pendapat Abu Hanifah dalam kasus tertentu, pendapat Malik pada kasus lainnya, dan Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Dawud dalam kasus lainnya, dan seterusnya. Bahkan kita boleh – dalam beberapa hal – merujuk pada mazhab non-Sunni, seperti Zaydi, Ja’fari, atau mazhab Ibadi, jika mereka memberikan solusi yang dibutuhkan. Selain itu, kita boleh mengambil pendekatan mazhab yang sudah usang, seperti Al Awza’i, Ath-Thawri, atau At-Tabari.

Keempat, tidak cukup bagi kita dengan hanya membandingkan mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat dalam fiqih Islam serta institusi-institusinya. Sebaliknya, kita juga boleh membandingkan fiqih dari Syariat Islam secara keseluruhan dengan hukum positif Barat. Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk mengilustrasikan tingkat keaslian dari Syariat, ketegasan prinsip-prinsipnya, ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum lain, dan perpaduan Syariat antara idealisme dan realisme, serta antara hukum Ilahi dan manusia.

Kelima, menghubungkan fiqih kepada realitas kontemporer Ummat dan seluruh dunia. Hal ini karena fiqih dibuat untuk memecahkan berbagai masalah dari individu muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, negara muslim, dan ummat muslim melalui perundang-undangan yang toleran dari Syariah.

Dengan demikian, fiqih ini mencari penyembuhan-penyembuhan atau pengobatan-pengobatan terhadap berbagai penyakit muslim (dengan menggali sumber) dari dalam – bukan dari luar – khazanah Syariah yang mulia ini. Hal ini juga menjawab setiap pertanyaan yang diangkat oleh individu atau masyarakat tentang agama dan kehidupan. Fiqih juga menuntun perjalanan peradaban Ummat dalam cahaya hukum syariah yang mulia.

Keenam, seperti halnya pada semua buku-buku dan penelitian-penelitian kami, dalam buku ini kami mengambil pendekatan yang Allah SWT hidayahkan kepada kami untuk memilih dan mendahulukan dakwah, tarbiyah, iftaa’, penelitian, reformasi dan renovasi, yaitu pendekatan moderat dan kelembutan.

Di antara aspek-aspek pendekatan fiqih ini, pemahaman dan ijtihad, adalah bahwa kita harus memperbaharui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan perkembangan zaman kita sebagaimana imam-imam terdahulu kita melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan zamannya. Kita harus menggunakan sumber-sumber pengetahuan dari apa-apa yang mana pandang-pandangan mereka berasal darinya, memahami sebagian teks dalam kerangka tujuan secara keseluruhan, dan merunut masalah-masalah ambigu kembali kepada masalah-masalah yang sudah jelas, serta merunut dari hal yang khusus ke umum.

Selain itu, kita harus ketat ketika hal ini mengarah pada hal-hal mendasar, dan membuat sesuatu lebih mudah ketika hal ini mengarah pada masalah-masalah sekunder, memadukan antara ketetapan Syariat dan variabel-variabel (faktor-faktor) zaman, dan menghubungkan teks asli dengan kenyataan yang masuk akal.

Hal ini juga mengharuskan kita untuk menghindari sikap memihak terhadap sebuah pendapat lama atau meninggi-ninggikan pemikiran baru; untuk mematuhi prinsip bahwa tujuan-tujuan itu tidak berubah, namun metode-metode bisa fleksibel; dan untuk mendapatkan manfaat dari apa saja yang bermanfaat dari pandangan-pandangan lama sebagaimana kita juga menyambut setiap pemikiran baru yang berguna.

Sebagai tambahan, kita harus mencari inspirasi dari masa lalu, hidup pada saat ini, dan melihat ke masa depan, menggali hikmah yang muncul dalam setiap bahtera, dan mengukur berbagai prestasi dari pihak lain terhadap nilai-nilai yang kita miliki, dan dengan demikian, menerima apa-apa yang cocok untuk kita dan mengabaikan yang tidak bermanfaat untuk kita, dan seterusnya.

Kemasyhuran beliau, ulama besar, Syeikh Al-Qardhawi telah membagi buku “Fiqih of Jihad” ke dalam sebuah pendahuluan, sembilan BAB, dan sebuah kesimpulan. Jadi, Insya Allah, kita akan mendapatkan tambahan resensi terhadap masalah-masalah lain yang diangkat oleh Imam dalam setiap bagian pada studinya ini. Kita memohon kepada Allah SWT untuk hidayah dan pertolongan-Nya

Sumber : Dakwatuna.com
Selesai.

Fiqih Jihad Karya Yusuf Al-Qaradhawi (Sebuah Resensi Buku) III

5. Para intelektual: Studi ini juga diperlukan untuk orang-orang yang memiliki pemikiran, penelitian, dan perenungan, khususnya mereka yang tertarik dengan pemikiran Islami dan gerakan-gerakan Islam, baik moderat maupun ekstremis, yang timbul darinya, dan juga aksi-aksi kekerasan – atau terorisme sebagaimana yang telah dijelaskan – di mana sebagian dari kelompok-kelompok ini terlibat di dalamnya. Hal ini, sebagai hasilnya, menggiring beberapa orang untuk melontarkan tuduhan kekerasan dan terorisme kepada Islam, sebagaimana semua aksi kekerasan dan semua bentuk terorisme adalah Islam. Tentu saja, hal ini salah dan tidak benar.

6. Para orientalis: Non-muslim, seperti misalnya para orientalis dan mereka yang tertarik dengan studi Islam, juga membutuhkan studi semacam ini. Hal ini berlaku untuk mereka yang tertarik karena ingin mencari pengetahuan dan menemukan kebenaran, atau mereka yang tertarik dengan motivasi politik di mana dilakukan untuk melayani permintaan dari negara-negara tertentu, atau Barat secara umum. Hal ini juga berlaku untuk mereka yang memiliki motivasi keagamaan dalam rangka melayani gereja dan gagasan “Kristenisasi”.

7. Orang-orang yang terlibat dalam dialog: Studi ini sangat penting untuk mereka yang tertarik dalam dialog antar kepercayaan (antar agama), atau dialog antar budaya dan antar peradaban. Dari sudut pandang saya, studi ini merupakan sebuah batu bata yang signifikan dari dialog semacam itu, yang mana kuat di suatu waktu dan lemah di waktu yang lain; maju dan terbentur dari waktu ke waktu. Alasan untuk hal ini terletak pada pikiran yang picik dari beberapa pihak kepada pihak yang lain, kefanatikan yang mendominasi pikiran, dan pilihan cenderung kepada pemikiran turunan (warisan) daripada pemikiran yang tanpa paksaan. Tidak diragukan lagi, orang-orang tidak bisa berdialog jika mereka tidak memiliki pengetahuan tentang satu sama lain.

8. Para politisi: Selain itu, para politisi dan para pengambil-keputusan di seluruh dunia juga membutuhkan studi ini. Mereka membuat keputusan yang amat penting yang berdampak krusial pada nasib bangsa, kehidupan manusia, potensi bangsa, dan kesucian agama. Serangan mereka terhadap agama didasari pada konsep mental mereka terhadap agama tersebut. Mereka, pada kenyataannya, tidak mengetahui tentang hal ini, belum pernah membaca kitab-kitabnya atau kenal dengan biografi nabi SAW; mereka belum pernah mempelajari sejarah agama ini atau bahkan memperoleh informasi yang signifikan tentang iman dan syariat agama ini.

9. Militer: Sebagaimana para politisi membutuhkan studi ini untuk membentuk pendapat yang benar tentang jihad, begitu juga militer, baik itu dia muslim atau non-muslim. Mereka yang salah paham tentang realitas jihad di antara para pemimpin militer Barat, seperti misalnya para politisi Amerika, kebanyakan Jenderal di Eropa; juga – sayangnya – di seluruh dunia, harus membaca buku ini. Pada sisi kami, kami harus menerjemahkan buku ini untuk mereka sehingga mereka dapat membaca dan memahaminya dalam bahasa mereka sendiri. Tidak diragukan lagi, kebanyakan mereka, ketika nada logika disajikan secara jelas kepada mereka, tunduk padanya, dan tidak akan berdebat. Bahkan jika mereka perdebatkan di publik, mereka akan dikalahkan secara internal, dan ini adalah keuntungan yang besar.

10. Intelektual publik: Akhirnya, studi ini juga diperlukan oleh pembaca umum dan biasa, para intelektual yang belum diklasifikasikan di atas, muslim dan non-muslim. Orang-orang seperti ini merepresentasikan massa yang besar di berbagai negara. Mereka perlu mengetahui realitas pandangan dunia Islam dan realitas jihad di jalan Allah.

Bersambung

Fiqih Jihad Karya Yusuf Al-Qaradhawi (Sebuah Resensi Buku) II

Syeikh yang terpelajar menulis bukunya yang berjudul Fiqih Zakat (Fiqh of Zakah), di mana dia memperoleh gelar PhD., pada tahun 1973. Tiga puluh enam tahun kemudian, beliau mempublikasikan bukunya yang berjudul Fiqih Jihad (Fiqh of Jihad), dan dalam mukadimah buku tersebut beliau menyatakan:

Saya merasa berkewajiban untuk melakukan penulisan tentang topik ini setelah Allah membuka dadaku untuk itu. Beberapa kali, sejak saya menyelesaikan buku Fiqh Zakat, terlintas dalam pikiran saya ide untuk menulis sebuah buku serupa mengenai Fiqih Jihad. Dan, beberapa kali punya kawan-kawan terhormat yang meminta saya untuk menulis tentang hal ini di mana masyarakat luas terpecah-belah. Namun, saya meminta maaf kepada mereka, memberikan alasan bahwa saya tidak memiliki semangat untuk melakukan tugas seperti itu.

Meskipun demikian, saya menulis beberapa potongan tentang hal ini di masa lalu, menunggu saat yang tepat untuk menulisnya dengan cara yang reguler, cara yang tidak terputus-putus. Hal ini karena tema jihad adalah salah satu dari berbagai topik mendasar yang harus diarahkan melalui penulisan yang sistematis dalam rangka untuk (memenuhi) kebutuhan kaum muslimin, secara khusus, dan dunia, secara umum, agar memiliki pengetahuan yang benar tentang jihad, jauh dari melewati batas ekstrim dan – sebaliknya – kelalaian.

Meskipun pada dasarnya Fiqih Zakat mengarahkan zakat sebagai salah satu kewajiban yang dikenakan oleh Islam kepada kaum muslimin dan salah satu pilar dasar Islam (rukun Islam), hal ini juga dianggap sebagai jenis jihad; ini adalah jihad dengan harta. Jenis jihad ini, sangat dihormati dan sangat diperlukan, baik pada saat ini maupun saat yang lain.

Pentingnya Jihad dalam Fiqh yang Ditulis Yusuf Al-Qardhawi

Dari baris paling pertama pada mukadimah, Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengilustrasikan pentingnya kewajiban yang telah lepas ini dan bahaya yang dihasilkan untuk ummat saat ini dan yang akan datang. Beliau mengatakan:

Tanpa jihad, garis batas ummat akan dilanggar, darah orang-orang yang ada di dalamnya akan semurah debu, tempat-tempat sucinya akan tidak lebih baik dari pasir di gurun, dan ummat tidak akan bernilai signifikan di mata musuh-musuhnya. Sebagai akibatnya, si pengecut akan mengambil hati untuk menyerang ummat, budak akan tampak di atas dengan arogan, musuh-musuh akan menguasai lahannya, mendominasinya, dan mengontrol orang-orangnya. Ini karena Allah SWT telah menjauhkan rasa takut dari hati para musuh dalam menghadapi ummat.

Jauh di masa lalu, ummat ini akan diberikan kemenangan atas musuhnya dengan jaminan rasa kagum yang ditanamkan Allah SWT ke dalam hati musuh untuk jarak satu bulan perjalanan. Lebih serius dari hal itu – atau katakanlah, salah satu alasan dibalik itu – adalah kenyataan bahwa ummat telah mengabaikan jihad, atau mungkin bahkan menghapuskannya dari agenda. Ummat telah menghapusnya dalam berbagai aspek-aspeknya: fisik, spiritual, intelektual, dan kultural.

Ke-moderat-an Syeikh Al-Qardhawi dan Fiqh Jihad

Syeikh Al-Qardhawi berbicara tentang sikap orang-orang tentang jihad, membaginya ke dalam tiga kategori. Mengenai kategori pertama, beliau mengatakan,

Ini adalah sebuah kategori yang berusaha untuk memberikan selubung kelalaian terhadap jihad dan menjauhkan jihad dari kehidupan ummat. Mereka, malahan, menganggapnya sebagai kepedulian dan peran utama mereka meningkatkan nilai-nilai spiritual dan amal-amal kebajikan ummat – sebagaimana klaim mereka –, dan mempertimbangkan hal ini sebagai jihad yang utama: perjuangan terus-menerus melawan setan dan hawa nafsu seseorang.

Mengenai kategori kedua, beliau mengatakan,

Sebagai lawan dari kategori di atas, di sana ada yang lain lagi yang mempersepsikan jihad sebagai sebuah “perjuangan melawan seluruh dunia”. Mereka tidak membedakan antara yang memerangi kaum muslimin, berdiri di jalan dakwah, atau yang mencoba menjauhkan mereka dari agamanya, dan mereka yang melebarkan jembatan perdamaian kepada kaum muslimin dan menawarkan rekonsiliasi serta pemulihan hubungan dengan mereka, tidak menggunakan pedang kepada mereka dan tidak mendukung musuh dalam melawan mereka.

Menurut kategori ini, semua orang kafir adalah sama. Orang-orang yang tergolong kategori ini percaya bahwa ketika kaum muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk memerangi orang-orang kafir hanya dengan pertimbangan kekafiran mereka, yang mereka anggap sebagai alasan yang memadai untuk memerangi orang-orang kafir tersebut.

Beliau lalu memilih pendekatan moderat yang direpresentasikan oleh kategori ketiga, beliau mengatakan,

Kategori ketiga adalah “ummat yang moderat” (ummat pertengahan) di mana Allah SWT telah memberi petunjuk kepada pendekatan moderat dan diberikan pengetahuan, kebijaksanaan, dan pemahaman yang dalam mengenai syariah dan realitas. Oleh karenanya, kategori ini tidak tergelincir kepada kelalaian dari kategori pertama yang berusaha untuk membiarkan hak ummat tanpa dipersenjatai dengan kekuatan, Al-Qur’an-nya tidak dijaga dengan pedang, serta rumah dan tempat-tempat sucinya tanpa penjaga untuk melindungi dan mempertahankan mereka.

Demikian juga, kategori ini tidak jatuh pada tindakan berlebihan dan ekstrimisme dari kategori kedua yang berusaha untuk memerangi orang-orang yang damai, dan mendeklarasikan perang melawan semua orang tanpa membeda-bedakan; putih atau hitam, di Timur atau di Barat. Tujuan mereka melakukan hal itu adalah untuk mengarahkan orang-orang ke (jalan) Allah SWT, mengantarkan mereka yang terbelenggu ke Surga dan membawa mereka secara paksa dengan tangan ke jalan yang lurus.

Mereka (kategori kedua itu) lebih lanjut menambahkan bahwa tujuan mereka adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan di depan orang-orang itu yang dibentuk oleh rezim yang zhalim yang tidak memungkinkan mereka untuk menyampaikan firman Allah dan seruan Rasul-Nya kepada masyarakat, sehingga mereka dapat mendengar dengan keras dan jelas dan bebas dari segala noda.

Kepada Siapa Buku Ini Ditujukan?

Iman Al-Qardhawi me-list beberapa kategori orang-orang yang membutuhkan buku ini dalam rangka untuk memperoleh sebuah pemahaman yang akurat terhadap tema jihad dengan jalan yang bebas dari kelalaian dan berlebihan. Seakan-akan kategori-kategori ini memadukan berbagai kategori dari seluruh masyarakat, muslim dan non-muslim, pemerintah dan yang diperintah, orang-orang sipil dan militer, dan para pemikir serta intelektual. Beliau memaparkan 10 kategori yang saya pikir mencakup kategori dari seluruh lapisan masyarakat.

1. Ulama Syariah. Kategori pertama yang membutuhkan studi semacam ini adalah para ulama bidang Syariah dan para imam fiqih, sebagaimana kebanyakan dari mereka menyuguhkan konsep-konsep yang sudah baku dan warisan budaya tentang jihad. Mereka, sebagai contoh, mempertahankan bahwa jihad adalah kewajiban kolektif dari ummat dan bahwa kewajiban ini mengharuskan kita untuk menyerbu negara-negara non-muslim sedikitnya setahun sekali, bahkan jika mereka tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap kita, hingga kini, daripada, mereka membentangkan tangan perdamaian dan rekonsiliasi. Meskipun pendapat ini menentang banyak ayat-ayat Al-Qur’an, efek dari ayat-ayat demikian – sebagaimana yang telah kami indikasikan di atas – ditiadakan dalam pandangan mereka atas dasar bahwa ayat-ayat tersebut telah dimansukh!

2. Mahasiswa-mahasiswa bidang ilmu hukum: Demikian juga, studi ini dibutuhkan oleh para ahli undang-undang dan para spesialis dalam hukum internasional, banyak dari mereka telah membentuk pandangan mereka sendiri tentang Islam dan Syariah, khususnya tentang jihad, perang, dan perdamaian. Mereka telah memperoleh pandangan-pandangan tersebut dari kutipan terkenal tertentu dari beberapa buku maupun dari informasi yang disebarkan oleh beberapa penulis dan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Orang-orang tersebut sampai batas tertentu tidak bisa disalahkan, karena para ulama Syariah sendiri bingung dalam hal ini. Maka apa yang akan terjadi dengan orang biasa?

3. Para Islamis: Lebih dari yang lain, studi tentang hal ini dibutuhkan oleh para Islamis. Oleh para “Islamis” di sini maksudnya adalah beberapa kelompok Islam yang bekerja dalam mendukung hal-hal Islami, dan yang disebut oleh beberapa pihak sebagai “kelompok politik Islam”. Kelompok-kelompok itu biasanya termasuk pemuda kebangkitan Islam di bawah bendera mereka masing-masing di berbagai negara, baik di dalam maupun di luar dunia Islam. Oleh karena itu, kelompok seperti ini, dengan perbedaan kecenderungan dan sikap mereka, apakah moderat atau ekstremis, benar-benar membutuhkan studi tentang hal ini, khususnya mereka yang dikenal dengan “kelompok kekerasan”.

4. Para sejarawan: Para sejarawan juga membutuhkan studi ini, khususnya mereka yang tertarik dengan biografi Nabi dan sejarah Islam, dan mereka yang mengintepretasikan berbagai peperangan yang dilakukan oleh Nabi SAW dengan cara yang tidak benar dan tidak adil, dengan memandang bahwa Rasulullah-lah yang memulai serangan dan perlawanan kepada para musyrikin. Mereka memberi contoh seperti perang Badar, penaklukan Mekah, dan perang Hunain. Mereka juga menyebutkan bahwa Nabi SAW memulai invasi melawan Yahudi di tempat dan di benteng mereka, menyebutkan perang Bani Qainuqa dan Bani An-Nadir, dan juga perang Tabuk di mana beliau memulai perang melawan Romawi.

Bersambung . ........
sumber: dakwatuna.com

Fiqih Jihad Karya Yusuf Al-Qaradhawi (Sebuah Resensi Buku) I

Buku yang diberi judul “Fiqih of Jihad” ini ditulis oleh seorang mujahid dan ulama Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, berjumlah lebih dari 1400 halaman dan diterbitkan oleh Wahba Bookshop, Cairo. Banyak para pembaca yang gelisah menunggu penerbitan buku ini dalam jangka waktu yang sangat lama. Namun demikian, Syeikh mempertimbangkan dan menundanya sampai buku ini sepenuhnya selesai ditulis, lalu, setelah merasa puas dengan isinya, beliau merilisnya sebagai sebuah cahaya petunjuk yang mengusir awan kegelapan menaungi ummat yang kebingungan ini.

Mengapa Yusuf Al-Qardhawi? Dan Mengapa Jihad?

Belakangan ini, banyak ulama yang diminta untuk meluaskan ruang lingkup ijtihad mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jihad, sejak beberapa topik yang meliputi amal-amal ibadah atau transaksi, khususnya transaksi finansial, telah menerima hasil kontribusi dari ijtihad individu dan kolektif. Sedangkan, jihad belum pernah mendapatkan sebuah kontribusi (usaha) serupa walaupun betapa urgennya hal ini dan betapa butuhnya masyarakat terhadap hal ini di seluruh lapisan usia, khususnya di zaman sekarang di mana banyak negara mengajak negara lainnya untuk berkolaborasi melawan ummat layaknya orang banyak yang duduk mengelilingi piring makanan dan mengajak orang lain untuk memakannya.

Di sisi lain, orang lain merasa takut membuka pintu untuk penelitian dan penulisan pada topik jihad di zaman sekarang agar jangan sampai ijtihad muncul menjadi pembenaran dan lemah, seperti status ummat ini. Mereka takut bahwa ijtihad mungkin bisa berkembang menjadi pengkhidmatan dan pembenaran terhadap kenyataan pahit kita, menganjurkan kaum muslimin untuk mendukung perdamaian di zaman yang hanya mengenal bahasa agresi.

Mereka juga takut bahwa ijtihad mungkin menjadi sesuatu yang keras sebagai sebuah reaksi atas tumpahan darah di tangan musuh-musuh kita, pelanggaran atas kewajiban-kewajiban suci, dan penyerobotan atas lokasi-lokasi suci kita. Oleh karena itu, ia akan menjadi ijtihad yang bersifat balas dendam yang tidak menghormati hubungan kekerabatan atau ikatan perjanjian dan tidak menghormati kewajiban-kewajiban atau kesucian, yang memiliki motto perkataan Ibnu Zuhayr, “Barangsiapa yang tidak membahayakan orang akan dirugikan”.

Namun, Allah SWT membuka hati Syeikh yang berpendidikan tinggi dan memudahkan sarana untuknya untuk melakukan beban yang besar ini dan menyelesaikan dengan baik tugas ini sehingga hal tersebut tidak menjadi ijtihad yang bersifat pembenaran atau pun pembalasan. Dengan demikian, buku tersebut datang bersinar ketika syeikh melewati usia 80 tahunnya (lahir tahun 1926). Dalam usianya yang terbaik, orang ini tidak takut dan tidak pula tergoda oleh pedang maupun kekayaan dari penguasa, walaupun demikian faktanya kenyamanan hidup ada dalam genggamannya.

Dia bahkan harus dilengkapi dengan beberapa kenyamanan tersebut sehingga dia bisa menggunakannya untuk memenuhi proyek-proyek yang dia kerjakan dan cita-citakan. Dengan semua alasan ekstra, dia tidak memberikan perhatian kepada berbagai sikap menyalahkan sepanjang jalannya mengenai Tuhan setelah hidup yang panjang dalam ketekunan dan jihad. Walaupun dia menerima banyak gangguan dan marabahaya dari dalam maupun luar negerinya, dia tetap gigih dan tekun, mencari balasan dari Allah SWT, sampai dia memperoleh peringkat tinggi yang merubah hati dan pikiran orang-orang terhadapnya.

Selain itu, tidak ada seorang pun yang dapat meragukan usaha dan jihad yang diusung oleh Syeikh untuk mempertahankan kepentingan agama, dalam ketajamannya pada fundamental (pokok-pokok) agama, dan pertahanannya pada batas-batas agama sepanjang hidupnya. Beliau tidak pernah dipusingkan dalam mencari berbagai kenikmatan dunia, tidak pernah membujuk siapa pun dalam hal keselamatannya di akhirat, dan tidak pernah memberikan perhatian kepada berbagai sikap menyalahkan yang dia terima sepanjang jalannya menuju Tuhan.

Selain itu, tidak ada yang dapat menuduh dia fanatik atau ekstrim karena dia adalah pemimpin dan ahli teori dalam ke-moderat-an di era modern serta muballigh dan penganjur jalan tengah di dalam pikiran dan fiqih nya.
Dan lagi, kita menemukan bakat beliau dalam bidang hukum, pengetahuannya tentang realitas, keterikatannya yang kuat kepada hukum peninggalan zaman dulu, dan kompetensinya untuk berurusan secara benar dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi, dalam cahaya tersebut, kita berharap banyak bahwa banyak orang akan setuju dengan ijtihad dan pemikiran beliau.

Bersambung........
sumber: Dakwatuna.com

Ikhlas

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5)

Ikhlas merupakan kata kunci seseorang yang takut kepada Allah, karena keikhlasan adalah syarat mutlak diterimanya ibadah seseorang. Kendati bersimbah peluh berkuah keringat, menghabiskan tenaga, terkuras pikiran, jika tidak ikhlas, tidak ada nilainya di sisi Allah.

Menafkahkan seluruh harta jika hanya ingin disebut dermawan, tidak akan memiliki nilai apapun. Seseorang aktifis ibadah, tetapi ia tampakkan wajahnya yang pucat, tubuhnya yang kering, agar ia disebut sebagai orang yang begitu serius dalam masalah agama, bahkan ketika bicara dengan suara yang direndahkan, senyumnya diramah-ramahkan, sementara di hatinya tidak sama sekali ada denyut nadi Allah, melainkan hanya agar disebut sebagai sosok yang dekat dengan Allah, agar disebut sebagai hamba yang religius, tidak akan memiliki nilai apa pun di sisi Allah.

Apakah definisi ikhlas itu? Secara bahasa ikhlas terambil dari akar kata kholasha, khulushon, khalashon yang berkonotasi murni dan terbebas dari kotoran. Kata ikhlas menunjukkan makna murni, bersih, terbebas dari segala sesuatu yang mencampuri dan mengotorinya.

Ikhlas adalah mengesampingkan pandangan manusia dengan senantiasa mengarahkan tujuan kepada Allah SWT, menyelaraskan antara perbuatan zahid dan batin, tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupun imbalan duniawi dari apa yang di lakukan.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali jika (dilakukan) dengan penuh keikhlasan serta ditujukan untuk mendapatkan ridha-Nya”.(Al Hadis). Karena itu Imam Ali ra mengungkapkan bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh Allah.

Senada dengan Imam Ali, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa ikhlas adalah memfokuskan tujuan dan maksud (dari amalannya) hanya kepada Allah, melaksanakan ketaatan hanya kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu.

Rasulullah SAW mengucapkan selamat kepada al mukhlisin (orang-orang yang ikhlas), yaitu orang-orang yang bila hadir tidak dikenal, bila tidak hadir dicari-cari, mereka pelita hidayah, mereka selalu selamat dari fitnah kegelapan (HR Baihaki).

Lalu apa tanda keikhlasan itu, Zunun al-Misry mengungkapkan ada tiga tanda keikhlasan, yaitu manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja, melupakan amal ketika beramal, dan jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya.

Sedangkan Syeikh al-Munajid meringkas tentang tanda-tanda ikhlas, yaitu bersemangat untuk beramal demi agama, amalan yang dilakukan secara diam-diam lebih banyak dari yang terang-terangan, bersegera untuk beramal dan meraih pahala, sabar untuk menahan diri dan tidak mengeluh, bertekad untuk menyembunyikan amal kebaikan, melakukan sesuatu dengan baik dan maksimal ketika sedang sendiri, dan memperbanyak amalan di kala sendiri.

Agar kita menjaga hamba Allah yang ikhlas, para ulama memberikan kiat-kiat agar kita menjadi hamba-Nya yang ikhlas, yaitu: menyadari bahwa kita hanyalah hamba Allah, bukan hamba diri sendiri, juga bukan hamba berhala yang banyak bercokol di hati, memposisikan Allah dan Rasul sebagai prioritas utama dalam segala hal.

Ingat bahwa kemampuan kita beribadah hanyalah semata anugerah Allah bukan ciptaan kita, manusia berkehendak, Allah berkehendak dan yang berlaku adalah kehendak Allah, bergaul dengan hamba Allah yang ikhlas, istiqomah dalam beribadah, dan selalu berdoa agar Allah berikan keikhlasan dalam diri. Semoga Allah memberikan karunia keikhlasan dalam setiap aktifitas dan ibadah yang kita lakukan.

Sumber : Postingan Ramli Rahim di Forum Facebook Group KAHMI Sulsel

Jumat, 21 Agustus 2009

Marhaban ya Ramadhan

Segenap Pengurus

LDK FKMKI Unhas

Mengucapkan

selamat menunaikan Ibadah Puasa
Ramadhan 1430 H
Semoga Ramadhan ini bisa semakin menambah keimanan kita dan semakin mendekatkan kita kepada-Nya. Amin

Senin, 10 Agustus 2009

Sepuluh langkah Menyambut Ramadhan

1. Berdoalah agar Allah swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadan dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal di bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan. (HR. Ahmad dan Tabrani)

Para salafush-shalih selalu memohon kepada Allah agar diberikan karunia bulan Ramadan; dan berdoa agar Allah menerima amal mereka. Bila telah masuk awal Ramadhan, mereka berdoa kepada Allah, ”Allahu akbar, allahuma ahillahu alaina bil amni wal iman was salamah wal islam wat taufik lima tuhibbuhu wa tardha.” Artinya, ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman; dan berikan kepada kami taufik agar mampu melakukan amalan yang engkau cintai dan ridhai.

2. Bersyukurlah dan puji Allah atas karunia Ramadan yang kembali diberikan kepada kita. Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Maka, ketika Ramadan telah tiba dan kita dalam kondisi sehat wal afiat, kita harus bersyukur dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur.
3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para shahabat setiap kali datang bulan Ramadan, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

Salafush-shalih sangat memperhatikan bulan Ramadan. Mereka sangat gembira dengan kedatangannya. Tidak ada kegembiraan yang paling besar selain kedatangan bulan Ramadan karena bulan itu bulan penuh kebaikan dan turunnya rahmat.

4. Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadan. Ramadhan sangat singkat. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.

5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu Ramadan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah, maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.S. Muhamad (47): 21]

6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadan. Wajib bagi setiap mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadan datang agar puasa kita benar dan diterima oleh Allah. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,” begitu kata Allah di Al-Qur’an surah Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Sambut Ramadan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah secara benar dari segala dosa dan kesalahan. Ramadan adalah bulan taubat. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31]

8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental kita siap untuk melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadan.

9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan dengan:

· buat catatan kecil untuk kultum tarawih serta ba’da sholat subuh dan zhuhur.
· membagikan buku saku atau selebaran yang berisi nasihat dan keutamaan puasa.

10. Sambutlah Ramadan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Kepada Allah, dengan taubatan nashuha. Kepada Rasulullah saw., dengan melanjutkan risalah dakwahnya dan menjalankan sunnah-sunnahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahmi. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

(Disadur dari artikel kiriman seorang sahabat)