Coto Makassar diduga pula telah ada sejak Somba Opu (pusat Kerajaan Gowa) berjaya pada tahun 1538 hingga terhidangkan dalam bentuk warung-warung yang ada sekarang dibeberapa pinggiran jalan. Sajian coto makassar diduga terpengaruh pula oleh makanan cina yang telah datang di abad 16, ini terlihat dari sambal yang digunakan yakni sambal tao-co merupakan bagian dari ketata bogaan Cina yang mempengaruhi budaya ketata bogaan Makassar,
Hidangan coto makassar ini, dalam aliran modern digolongkan sebagai hidangan sup. Bila dalam tradisi sejarah masyarakat Eropa yang muncul pada era sebelum revolusi industri di Inggris, sup disandingkan dengan roti sebagai pengganjal perut di malam hari. Maka Coto Makassar juga telah menjadi makanan bagi para pengawal kerajaan untuk mengisi perut di subuh hari sebelum bertugas dipagi harinya.
Coto Makassar pun dianggap hambar bila tak diiringi dengan ketupat atau burasa. Keenakan menikmati coto makassar tak terlepas pula dari tradisi peramuaanya yang secara khusus diolah dalam kuali tanah yang disebut: korong butta atau uring butta dan dengan rampah patang pulo (40 macam rempah) yang terdiri dari kacang, kemiri, cengkeh, pala, foeli, sere yang ditumbuk halus, lengkuas, merica, bawang merah, bawang putih, jintan, ketumbar merah, ketumbar putih, jahe, laos, daun jeruk purut, daun salam, daun kunyit, daun bawang, daun seldri, daun prei, lombok merah, lombok hijau, gula talla, asam, kayu manis, garam, papaya muda untuk melembutkan daging, dan kapur untuk membersihkan jerohan.
Khasnya rasa dari kentalnya coto Makassar dari ramuan rempahnya yang juga berfungsi sebagai penawar zat kolesterol yang terdapat dalam hati, babat, jantung, limpah dsb. Rasa khas inilah yang menurut dugaan bahwak keberadaan soto babat dari Madura, soto Tegal, soto Betawi, terinspirasi dari coto makassar karena dahulu dibawa oleh para pelaut kedaerah tempa tsoto yang lain berada sehingga diduga bahwa coto Makassar itu “lebih tua” dari pada soto di persada Nusantara ini.
Di Makassar, Coto disajikan dengan harga yang beragam. Dari mulai Rp. 3.500,- per mangkuk hingga Rp. 7.000,-, tergantung kelas si pedagang. Beberapa pedagang Coto yang paling terkenal seperti Coto Gagak, Coto Latimojong dan Coto Paraikatte biasanya sudah dipadati pengunjung sejak pagi hari sekitar pukul 7. Warung-warung Coto ini biasanya buka hingga malam. Ada juga beberapa warung yang mengambil spesialisasi buka di malam hari hingga pagi hari tiba, namanya Coto Bagadang (begadang). Waktu yang paling tepat untuk menyantap Coto memang adalah di pagi hari hingga siang hari, atau malam hingga tengah malam. Tapi itu bukan patokan utama, karena Coto sebenarnya bisa disantap kapan saja.
CARA MEMBUAT
Siapa yang tak tahu coto Makassar. Rasanya sangat kental sapi, pedas, dan tidak terlalu encer. makanan satu ini selalu dapat ditemui di sudut-sudut jalan. Namun, jika Anda berselera dengan coto satu ini, silakan buat sendiri, karena kami telah menyediakan resep terenak dari coto ini. Selamat mencoba.
Ingredients:
500 gram daging sapi, sandung lamur
500 gram babat, rebus matang
300 gram hati sapi, rebus matang
200 gram jantung sapi, rebus matang
5 batang serai memarkan4 sm lengkuas memarkan
2 cm jahe memarkan
5 lembar daun salam
250 gram kacang tanah, goreng haluskan
2,5 liter air cuci beras/tajin
1 sdm bumbu kaldu bubuk rasa sapi
6 sdm minyak sayur
Haluskan:
10 siung bawang putih,
8 butir kemiri sangrai1 sdm ketumbar sangrai
1 sdt jintan sangrai
1 sdt garam dan
1 sdt merica butiran
Pelengkap : bawang goreng, irisan daun bawang dan irisan seledri, sambal taocoHaluskan : 10 bawang merah, 5 siung bawang putih, 10 cabai keriting rebus sebentar, 100 gram taoco, tumis dengan 6 sdm minyak sayur hingga matang, haluskan tambahkan garam dan gula merah
Directions:
1. Rebus daging sapi, babat, hati dan jantung, beri serai, lengkuas, jahe dan salam setelah matang angkat, tiriskan, potong dadu. Jerohan sapi matang, potong dadu. Sisihkan.
2. Panaskan minyak, tumis bumbu yang dihaluskan hingga harum, masukkan kedalam kaldu, tambahkan kacang tanah goreng, didihkan.
3. Penyajian, siapkan mangkuk, isi dengan daging dan jerohan beri kuahnya, taburi bawang goreng, irisan daun bawang dan seledri sajikan dengan buras dan sambal taoco
4. Sajikan hangat.
Kamis, 24 Desember 2009
Sabtu, 19 Desember 2009
Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (3)
Syubhat 6
Mereka menyatakan: “Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain. Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadits di zaman Umar. Ummul Mukminin ‘A’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu. (36)
Juga menyatakan: “Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur-Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhari, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shahih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadits, Muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shahih 50); semuanya hanya 1411 hadits dan itu berarti Cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Tholhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdurraohman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya. (37)
Bantahan:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairah berdusta? Sebagaimana dituduhkan diatas. Itu semua tidak benar, sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairah. Sedangkan riwayat mereka menuduh Abu Hurairah berdusta diriwayatkan dari Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar penentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab Radhiallahu’anhu berkata kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu: “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar Radhiallahu’anhu itu terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits mungkin terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya. (38)
Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar Radhiallahu’anhu kepada hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian pernyataan Umar Radhiallahu’anhu sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar Radhiallahu’anhu kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar Radhiallahu’anhu, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika hadits-hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih menurut pandangan Umar Radhiallahu’anhu, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.(39)
Dan terdapat kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairah, diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata :
أُتِيَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ تَشِمُ فَقَامَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ مَنْ سَمِعَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ
“Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,“Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapa diantara kalian yang mendengar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang tato?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata, “Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya,“Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato’ “(40)
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah Radhiallahu’anha yang disebutkan dalam tuduhan mereka diatas adalah pernyataan beliau :
أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ
“Tidakkah Abu Hurairah membuatmu heran, datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari Rasulullah memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian.” (41)
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah Radhiallahu’anhu tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah Radhiallahu’anhu tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meninggalkan tempat sebelum ia Radhiallahu’anhu selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Jika aku menjumpainya, niscaya aku akan menjawabnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskannya, pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat.(42) Perkataan Aisyah Radhiallahu’anhu “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Tidak ada dalam pernyataan ‘A’isyah yang menunjukkan ia menolak hadits Abu Hurairah atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘A’isyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairah sebagaimana dalam hadits Khobaab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
“Wahai Abdullah bin Umar tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Abu Hurairah, bahwa beliau mendengar Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menyolatkannya kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua Qiraath. Setiap Qirath seperti gunung uhud. Barang siapa yang menyolatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti gunung uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khobaab ke ‘A’isyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurariroh tersebut kemudian kembali kepadanya memberitahu pernyataan ‘A’isyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam kerikil masjid yang ia bolak-balikkan ditangannya sampai datang utusan beliau tersebut. Lalu berkata utusan tersebut: ”A’isyah berkata: ‘Sungguh benar Abu Hurairah’. Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-krikil yang ada ditangannya ke tanah, kemudian berkata: ‘Kita telah kehilangan banyak qiraath’.(43)
Sedangkan pernyataan Imam ‘Ali yang mereka kemukakan diatas merupakan kedustaan sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairah: “Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan yang menyakinkan, bahwa Ali Radhiallahu’anhu menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskaafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, (maka) Ali Radhiallahu’anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ialah Abu Hurairah Ad Dausi”.
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskaafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang menuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah.(44) Bahkan demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali Radhiallahu’anhu, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu.”(45)
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, maka ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memaparkan apa yang beliau dengar, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah.
Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.(46)
Kemudian mereka mulai mempertanyakan kenapa Abu Hurairah banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti Khalifah Al Rasyidin. Usaha membandingkan riwayat Abu Hurairah dengan riwayat Khulafa’ Ar Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
Memang benar bahwa Khulafa’ Ar Rasyidin telah mendahului Abu Hurairah dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli qur’an dan Qadhi’(hakim). Sehingga mereka telah menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Khalid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatan beliau dari Rasululllah karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairah dengan banyaknya periwayatan beliau karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
Abu Hurairah meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usia panjang beliau. Hal ini membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau Khulafa’ Ar Rasyidin tidak benar.(47)
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairah sendiri dalam pernyataannya:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”(48)
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Sedang aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya ketika mereka lupa.”(49)
Dalam lafadz Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan kami dari turut serta bersama Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam satu kalimat yang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ajarkan kepadaku atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku“.(50)
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, beliau telah mencurahkan seluruh potensinya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditambah dengan kemampuan beliau menghafal yang demikian kuat dan waktu mulazamahnya setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentunya hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ada dikalangan sahabat lain.
Hal ini terbukti. Kita dapati sebagian besar kibaar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual beli di pasar dari pada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang dilukiskan oleh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Lihatlah, Al Faruq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai Abu Said Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata: “Aku belum tahu hadits ini termasuk perkara Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini” .(51)
Bahkan tidak hanya jual-beli yang melalaikan Beliau Radhiallahu’anhu semata. Juga tempat tinggal Beliau yang berada di ‘Awaali (52) Madinah. Tidak seperti Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang hanya beberapa langkah dari kamar Aisyah Radhiallahu’anhu. Jika demikian, maka tidaklah aneh jika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).(53)
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orang-orang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain mereka sendirilah yang berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan oleh umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang seluruh amalan yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdul Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka radiyallahu’anhum.
Kita tidak mendapatkan mereka banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka.
Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena banyaknya sahabat-sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (yang telah meriwayatkan hadits). Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkan darinya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang kedua adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus bermulazamah (mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dengan konsisten; sedangkan Anas dan Abu Hurairah radiyallahu’anhuma secara terus-menerus mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk melayani Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hal itu menunjukkan secara pasti, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para shahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya dalam bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sehingga terkadang beliau meriwayatkannya dari mereka.(54)
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar Radhiallahu’anhu, pada masa Abu Bakar Radhiallahu’anhu, (ia) disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu ia sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal Radhiallahu’anhu mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu beliau menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, radiyallahu’anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata, “Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khathab?” Muadz Radhiallahu’anhu menjawab, "Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali radhiyallahu’anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh shahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat.
Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang.
Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syariatNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat hati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.(55)
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairah dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairah yang mampu menghafal 5374 hadits? Atau kaget beliau menghafal sejumlah ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairah. Kita lihat banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar tentang nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammaad Al Raawiyah orang yang paling tahu sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abaas dan hafalan imam Az Zuhriy, Asy Sya’bi dan Qatadah bin Da’amah Al Sadusi? Jadi hafalan Abu Hurairah bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5374 itu tidak semuanya shahih.
Sehingga Abu Hurairah tidak dapat dituduh melalui hafalan dan banyaknya hadits beliau ini. Jika ia kaget dengan kemampuan Abu Hurairah menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasulullah selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa sosial, politik dan pensyari’atan secara umum sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya tersebut.(56)
Penutup.
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairah masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah diatas mudah-mudahan dapat menjadi ibroh bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam mereka.
Sebagai penutup kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib dalam kitab As Sunnah Qabla Al Tadwiin dari Al Mustadrak ‘Ala Al Shahihain karya imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
36) Saqifah op.cit hlm 14.
37) Saqifah op.cit hlm 16.
38) Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir VIII/106.
39) Zhulumaatu Abi Ar Rayyah, halaman 43.
40) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Libaas bab Al Mustawsyimah no. 5490 hlm VII/214
41) Muslim, dalam Shahihnya kitab AL Ilmu Bab Sardu Al Hadits no. 3303
42) Fathul Bari, VII/389-390.
43) Muslim dalam Shahihnya kitab Al Jana’iz Bab Fadhlu ‘Ala Al Sholat Waittiba’uha no. 1574.
44) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskaafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468 Cet. Beirut.
45) Difa’ ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 123
46) ibid hlm 87 dengan perubahan.
47) Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 450.
48) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
49) Al Musnad, XIV/122.
50) Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
51) Muslim, VI/179.
52) Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
53) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 72-75 secara singkat.
54) Al Anwaa’u Al Kasyifah, halaman 141. kami nukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91
55) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91.
56) Dinukil secara bebas dari Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 449.
57) As Sunnah Qabla Tadwiin op.cit hlm 467-468.
Tulisan ini di posting ulang dari sumber:
1. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (1)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=207157338060
2. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (2)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=207293203060
3. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (3)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=207344738060
Mereka menyatakan: “Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain. Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadits di zaman Umar. Ummul Mukminin ‘A’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu. (36)
Juga menyatakan: “Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur-Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhari, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shahih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadits, Muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shahih 50); semuanya hanya 1411 hadits dan itu berarti Cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Tholhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdurraohman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya. (37)
Bantahan:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairah berdusta? Sebagaimana dituduhkan diatas. Itu semua tidak benar, sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairah. Sedangkan riwayat mereka menuduh Abu Hurairah berdusta diriwayatkan dari Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar penentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab Radhiallahu’anhu berkata kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu: “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar Radhiallahu’anhu itu terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits mungkin terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya. (38)
Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar Radhiallahu’anhu kepada hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian pernyataan Umar Radhiallahu’anhu sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar Radhiallahu’anhu kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar Radhiallahu’anhu, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika hadits-hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih menurut pandangan Umar Radhiallahu’anhu, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.(39)
Dan terdapat kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairah, diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata :
أُتِيَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ تَشِمُ فَقَامَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ مَنْ سَمِعَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ
“Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,“Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapa diantara kalian yang mendengar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang tato?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata, “Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya,“Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato’ “(40)
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah Radhiallahu’anha yang disebutkan dalam tuduhan mereka diatas adalah pernyataan beliau :
أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ
“Tidakkah Abu Hurairah membuatmu heran, datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari Rasulullah memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian.” (41)
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah Radhiallahu’anhu tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah Radhiallahu’anhu tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meninggalkan tempat sebelum ia Radhiallahu’anhu selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Jika aku menjumpainya, niscaya aku akan menjawabnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskannya, pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat.(42) Perkataan Aisyah Radhiallahu’anhu “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Tidak ada dalam pernyataan ‘A’isyah yang menunjukkan ia menolak hadits Abu Hurairah atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘A’isyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairah sebagaimana dalam hadits Khobaab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
“Wahai Abdullah bin Umar tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Abu Hurairah, bahwa beliau mendengar Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menyolatkannya kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua Qiraath. Setiap Qirath seperti gunung uhud. Barang siapa yang menyolatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti gunung uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khobaab ke ‘A’isyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurariroh tersebut kemudian kembali kepadanya memberitahu pernyataan ‘A’isyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam kerikil masjid yang ia bolak-balikkan ditangannya sampai datang utusan beliau tersebut. Lalu berkata utusan tersebut: ”A’isyah berkata: ‘Sungguh benar Abu Hurairah’. Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-krikil yang ada ditangannya ke tanah, kemudian berkata: ‘Kita telah kehilangan banyak qiraath’.(43)
Sedangkan pernyataan Imam ‘Ali yang mereka kemukakan diatas merupakan kedustaan sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairah: “Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan yang menyakinkan, bahwa Ali Radhiallahu’anhu menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskaafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, (maka) Ali Radhiallahu’anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ialah Abu Hurairah Ad Dausi”.
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskaafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang menuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah.(44) Bahkan demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali Radhiallahu’anhu, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu.”(45)
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, maka ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memaparkan apa yang beliau dengar, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah.
Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.(46)
Kemudian mereka mulai mempertanyakan kenapa Abu Hurairah banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti Khalifah Al Rasyidin. Usaha membandingkan riwayat Abu Hurairah dengan riwayat Khulafa’ Ar Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
Memang benar bahwa Khulafa’ Ar Rasyidin telah mendahului Abu Hurairah dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli qur’an dan Qadhi’(hakim). Sehingga mereka telah menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Khalid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatan beliau dari Rasululllah karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairah dengan banyaknya periwayatan beliau karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
Abu Hurairah meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usia panjang beliau. Hal ini membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau Khulafa’ Ar Rasyidin tidak benar.(47)
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairah sendiri dalam pernyataannya:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”(48)
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Sedang aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya ketika mereka lupa.”(49)
Dalam lafadz Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan kami dari turut serta bersama Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam satu kalimat yang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ajarkan kepadaku atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku“.(50)
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, beliau telah mencurahkan seluruh potensinya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditambah dengan kemampuan beliau menghafal yang demikian kuat dan waktu mulazamahnya setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentunya hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ada dikalangan sahabat lain.
Hal ini terbukti. Kita dapati sebagian besar kibaar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual beli di pasar dari pada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang dilukiskan oleh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Lihatlah, Al Faruq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai Abu Said Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata: “Aku belum tahu hadits ini termasuk perkara Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini” .(51)
Bahkan tidak hanya jual-beli yang melalaikan Beliau Radhiallahu’anhu semata. Juga tempat tinggal Beliau yang berada di ‘Awaali (52) Madinah. Tidak seperti Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang hanya beberapa langkah dari kamar Aisyah Radhiallahu’anhu. Jika demikian, maka tidaklah aneh jika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).(53)
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orang-orang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain mereka sendirilah yang berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan oleh umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang seluruh amalan yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdul Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka radiyallahu’anhum.
Kita tidak mendapatkan mereka banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka.
Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena banyaknya sahabat-sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (yang telah meriwayatkan hadits). Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkan darinya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang kedua adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus bermulazamah (mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dengan konsisten; sedangkan Anas dan Abu Hurairah radiyallahu’anhuma secara terus-menerus mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk melayani Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hal itu menunjukkan secara pasti, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para shahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya dalam bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sehingga terkadang beliau meriwayatkannya dari mereka.(54)
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar Radhiallahu’anhu, pada masa Abu Bakar Radhiallahu’anhu, (ia) disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu ia sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal Radhiallahu’anhu mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu beliau menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, radiyallahu’anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata, “Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khathab?” Muadz Radhiallahu’anhu menjawab, "Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali radhiyallahu’anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh shahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat.
Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang.
Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syariatNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat hati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.(55)
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairah dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairah yang mampu menghafal 5374 hadits? Atau kaget beliau menghafal sejumlah ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairah. Kita lihat banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar tentang nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammaad Al Raawiyah orang yang paling tahu sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abaas dan hafalan imam Az Zuhriy, Asy Sya’bi dan Qatadah bin Da’amah Al Sadusi? Jadi hafalan Abu Hurairah bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5374 itu tidak semuanya shahih.
Sehingga Abu Hurairah tidak dapat dituduh melalui hafalan dan banyaknya hadits beliau ini. Jika ia kaget dengan kemampuan Abu Hurairah menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasulullah selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa sosial, politik dan pensyari’atan secara umum sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya tersebut.(56)
Penutup.
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairah masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah diatas mudah-mudahan dapat menjadi ibroh bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam mereka.
Sebagai penutup kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib dalam kitab As Sunnah Qabla Al Tadwiin dari Al Mustadrak ‘Ala Al Shahihain karya imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
“Orang yang telah buta hatinya mencela Abu Hurairah hanya karena ingin menolak hadits beliau. Karena mereka tidak faham maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’aththil jahmi (pengikut alirat sesat Jahmiyah (pen)) yang mendengar hadits-hadits beliau yang menyelisihi madzhab mereka yang kufur, lalu mencela Abu Hurairah dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah telah sucikan darinya dalam rangka membuat opini pada orang awam dan rendahan bahwa hadits-hadits beliau tidak benar. Adakalanya ia seorang khowarij yang mengangkat pedang kepada kaum muslimin dan tidak memandang kewajiban mentaati khalifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyelisihi madzhabnya yang sesat, tidak dapat cara menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah maka ujungnya mencela Abu Hurairah. Atau seorang Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan islam dan kaum muslimin dan mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti takdir yang telah ditakdirkan Allah dahulu dan tetapkan sebelum hamba itu melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam menetapkan taqdir, tidak mendapatkan hujjah yang mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka hujahnya adalah menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Atau seorang bodoh yang ingin menjadi faqih dan mencarinya bukan dari tempatnya, jika mendengar berita Abu Hurairah menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya dengan taklid tanpa hujjah, maka mencela Abu Hurairah dan menolak hadits-haditsnya yang menyelisihi madzhab mereka dan berhujah dengan hadits-hadits Abu Hurairah atas orang yang menyelisihinya jika haditsnya tersebut sesuai dengan madzhabnya!!!”.(57)
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
36) Saqifah op.cit hlm 14.
37) Saqifah op.cit hlm 16.
38) Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir VIII/106.
39) Zhulumaatu Abi Ar Rayyah, halaman 43.
40) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Libaas bab Al Mustawsyimah no. 5490 hlm VII/214
41) Muslim, dalam Shahihnya kitab AL Ilmu Bab Sardu Al Hadits no. 3303
42) Fathul Bari, VII/389-390.
43) Muslim dalam Shahihnya kitab Al Jana’iz Bab Fadhlu ‘Ala Al Sholat Waittiba’uha no. 1574.
44) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskaafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468 Cet. Beirut.
45) Difa’ ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 123
46) ibid hlm 87 dengan perubahan.
47) Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 450.
48) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
49) Al Musnad, XIV/122.
50) Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
51) Muslim, VI/179.
52) Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
53) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 72-75 secara singkat.
54) Al Anwaa’u Al Kasyifah, halaman 141. kami nukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91
55) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91.
56) Dinukil secara bebas dari Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 449.
57) As Sunnah Qabla Tadwiin op.cit hlm 467-468.
Tulisan ini di posting ulang dari sumber:
1. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (1)
http://www.facebook.com/no
2. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (2)
http://www.facebook.com/no
3. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (3)
http://www.facebook.com/no
Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (2)
Syubhat 4
Mereka berkata: “Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.
Bukhari: “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Tholib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku kerumahnya”. Dibagian lain: “Aku meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al Qur’an) yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu Tholib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya”. (20)
Bantahan:
Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang lengkapnya berbunyi:
اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ
“Demi Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanah karena lapar dan aku ganjal perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh pada suatu hari aku duduk di jalan yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar menjamuku. Beliau pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar beliau menjamuku. Namun beliau pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku. Beliau mengetahui yang sedang bergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dari wajahku. Kemudian Beliau memanggilku, ”Wahai, Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Ikuti aku.”. Beliau beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasuki rumah, beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana). Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam) Radhiallahu’anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.” Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam shadaqah, Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengirimkannya kepada Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya". Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengizinkannya. Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya, “Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi, “Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda, “Wahai, Abu Hirr. Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda lagi, “Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa“. (21)
Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka terdahulu dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang beramal untuk sesuap makanan, namun apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak seluruh hadits beliau? Apalagi sampai menghina beliau sebagai orang yang punya hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung.
Orang yang meneliti kehidupan para sahabat menemukan bahwa beliau dalam hal ini tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal yang serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqaa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafadz:
“Kami bertempat tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi, ”Aku termasuk yang tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba-tiba aku melihat Abu Bakar di kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu beliaupun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumah (beliau) kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan beliau (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan menceritakan hal tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.” (22)
apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini?
Sedangkan kisah beliau dengan Ja’far bin Abu Thalib dibawakan Imam Bukhari dengan lafadz:
خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا فِيهَا
Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan tersebut. (23)
Lihatlah perbedaan dan penukilan ngawur yang menjadi cirri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!!!
Syubhat 5
Mereka menyatakan: “Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khathab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam. (24)
Bantahan:
Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai amir (gubernur) Bahrain.
Beliau menghadap Umar bin Khathab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar Radhiallahu’anhu bertanya padanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi,“Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi, “Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, “Sebanyak 20.000.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, “Aku berdagang.” Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.” (25)
Dan dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata padanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab, “Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana berkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab, “Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang), juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.”(26)
Kita lihat para musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mempergunakan perkataan keras Umar Radhiallahu’anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan menuduhnya mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidak demikian.
Umar Radhiallahu’anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap sejumlah pejabatnya (27) dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah dengan perlakuan semacam ini. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir.(28) Lalu Umar Radhiallahu’anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiallahu’anhu, dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian.(29) Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.(30)
Umar Radhiallahu’anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiallahu’anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam me-manage perkara-perkara kaum muslimin. (31)
Sungguh Umar Radhiallahu’anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Berita perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya. (32)
Khalifah Umar Radhiallahu’anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikannya kepada mereka setelah pengambilan tersebut dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka tanpa ada syubhat.(33)
Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayat secara lengkap.
Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terhadap Umar Radhiallahu’anhu, ketika Umar Radhiallahu’anhu berkata padanya, “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.”
Dengan demikian jelaslah Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginan beliau mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya.
Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat diatas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar Radhiallahu’anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa, (tidak mau) padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya,“Sesungguhnya Yusuf seorang Nabi dan anak seorang Nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Kenapa engkau tidak berkata lima?”. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab, “Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”. Seorang perawi (dari Ibnu Sirin) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. Lalu Abu Hurairah berkata lagi (yg dua hal),“Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.”(34)
Seandainya Umar Radhiallahu’anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar Radhiallahu’anhu meragukan sifat amanah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu sedikit saja, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Akan tetapi, beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.(35)
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
20) Saqifah op.cit hlm 20.
21) Shahih Al Bukhari,dalam Shahihnya kitab Al Riqaaq, Bab Kaifa ‘Isy Rasululloh wa Ashhabihi Wa Takhallihim min Al Dunya no. 5971 hlm VIII/120.
22) Dinukil dari Difaun ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 45-46 dari Al Mustadrak, IV/116.
23) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Ath’imah, Bab Al Halwa wa Al Asl, no. 5431 hlm IX/557.
24) Saqifah op.cit hlm 13.
25) Thabaqaat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih.
26) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269.
27) Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13.
28) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di hlm. 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, 105/J.3/Q.
29) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269; dinukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa‘ad, 105/J.3/Q.2.
30) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 140 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33.
31) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
32) Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurrahman Al Mu’allimiy halaman 213.
33) ibid
34) Al Amwaal, oleh Ibnu Ubaid, halaman 269 dengan sanad yang shahih dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasatuni dari lbnu Sirin, dan kisah itu sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsaar, I/53. diambil dari AL Difa’ ‘An Abu Hurairoh op.cit hlm 142.
35) As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
Mereka berkata: “Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.
Bukhari: “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Tholib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku kerumahnya”. Dibagian lain: “Aku meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al Qur’an) yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu Tholib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya”. (20)
Bantahan:
Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang lengkapnya berbunyi:
اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ
“Demi Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanah karena lapar dan aku ganjal perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh pada suatu hari aku duduk di jalan yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar menjamuku. Beliau pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar beliau menjamuku. Namun beliau pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku. Beliau mengetahui yang sedang bergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dari wajahku. Kemudian Beliau memanggilku, ”Wahai, Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Ikuti aku.”. Beliau beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasuki rumah, beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana). Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam) Radhiallahu’anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.” Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam shadaqah, Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengirimkannya kepada Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya". Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengizinkannya. Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya, “Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi, “Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda, “Wahai, Abu Hirr. Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda lagi, “Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa“. (21)
Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka terdahulu dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang beramal untuk sesuap makanan, namun apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak seluruh hadits beliau? Apalagi sampai menghina beliau sebagai orang yang punya hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung.
Orang yang meneliti kehidupan para sahabat menemukan bahwa beliau dalam hal ini tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal yang serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqaa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafadz:
“Kami bertempat tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi, ”Aku termasuk yang tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba-tiba aku melihat Abu Bakar di kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu beliaupun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumah (beliau) kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan beliau (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan menceritakan hal tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.” (22)
apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini?
Sedangkan kisah beliau dengan Ja’far bin Abu Thalib dibawakan Imam Bukhari dengan lafadz:
خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا فِيهَا
Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan tersebut. (23)
Lihatlah perbedaan dan penukilan ngawur yang menjadi cirri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!!!
Syubhat 5
Mereka menyatakan: “Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khathab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam. (24)
Bantahan:
Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai amir (gubernur) Bahrain.
Beliau menghadap Umar bin Khathab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar Radhiallahu’anhu bertanya padanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi,“Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi, “Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, “Sebanyak 20.000.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, “Aku berdagang.” Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.” (25)
Dan dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata padanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab, “Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana berkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab, “Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang), juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.”(26)
Kita lihat para musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mempergunakan perkataan keras Umar Radhiallahu’anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan menuduhnya mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidak demikian.
Umar Radhiallahu’anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap sejumlah pejabatnya (27) dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah dengan perlakuan semacam ini. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir.(28) Lalu Umar Radhiallahu’anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiallahu’anhu, dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian.(29) Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.(30)
Umar Radhiallahu’anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiallahu’anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam me-manage perkara-perkara kaum muslimin. (31)
Sungguh Umar Radhiallahu’anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Berita perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya. (32)
Khalifah Umar Radhiallahu’anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikannya kepada mereka setelah pengambilan tersebut dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka tanpa ada syubhat.(33)
Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayat secara lengkap.
Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terhadap Umar Radhiallahu’anhu, ketika Umar Radhiallahu’anhu berkata padanya, “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.”
Dengan demikian jelaslah Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginan beliau mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya.
Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat diatas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar Radhiallahu’anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa, (tidak mau) padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya,“Sesungguhnya Yusuf seorang Nabi dan anak seorang Nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Kenapa engkau tidak berkata lima?”. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab, “Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”. Seorang perawi (dari Ibnu Sirin) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. Lalu Abu Hurairah berkata lagi (yg dua hal),“Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.”(34)
Seandainya Umar Radhiallahu’anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar Radhiallahu’anhu meragukan sifat amanah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu sedikit saja, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Akan tetapi, beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.(35)
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
20) Saqifah op.cit hlm 20.
21) Shahih Al Bukhari,dalam Shahihnya kitab Al Riqaaq, Bab Kaifa ‘Isy Rasululloh wa Ashhabihi Wa Takhallihim min Al Dunya no. 5971 hlm VIII/120.
22) Dinukil dari Difaun ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 45-46 dari Al Mustadrak, IV/116.
23) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Ath’imah, Bab Al Halwa wa Al Asl, no. 5431 hlm IX/557.
24) Saqifah op.cit hlm 13.
25) Thabaqaat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih.
26) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269.
27) Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13.
28) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di hlm. 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, 105/J.3/Q.
29) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269; dinukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa‘ad, 105/J.3/Q.2.
30) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 140 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33.
31) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
32) Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurrahman Al Mu’allimiy halaman 213.
33) ibid
34) Al Amwaal, oleh Ibnu Ubaid, halaman 269 dengan sanad yang shahih dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasatuni dari lbnu Sirin, dan kisah itu sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsaar, I/53. diambil dari AL Difa’ ‘An Abu Hurairoh op.cit hlm 142.
35) As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (1)
Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam(1). Tujuan mereka sebenarnya hanyalah berusaha mencela dan merendahkan para saksi kebenaran islam dan hendak mencela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan menyatakan beliau memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja.
Akhirnya dengan cara ini mereka ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Biarlah mereka mampus dengan kemarahan dan kedengkiannya.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan slogan yang tampak luarnya rahmah dan ilmiah namun di dalamnya menyimpan dendam kesumat dan penipuan besar serta kepandiran.
Slogan studi kritis hadits, studi ilmiyah dan kebebasan berpendapat, ini semua hanyalah semu dan fatamorgana, tujuannya hanya satu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari racun yang mereka tebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara para sahabat yang mereka serang adalah perawi hadits Nabi terbanyak Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan melemparkan tuduhan ngawur dan kritikan tanpa dasar, namun dibungkus dengan kata-kata indah dan ilmiyah sehingga banyak menipu kaum muslimin yang belum mengenal aqidah dan syariat islam.
Maka dalam makalah singkat ini kita coba mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh islam kepada tokoh besar kita Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang terzahlimi dengan mencoba membantah dan membedahnya dengan tetap terus memohon kepada Allah kemudahan dan petunjuknya.
Diantara syubhat yang dilontarkan dengan zhalim oleh para musuh Islam adalah;
Syubhat 1
Mereka(2) menyatakan: “Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya.”. (3)
Juga menyatakan : “Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan Anshor, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.”. (4)
Bantahan
Memang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terkenal dengan "kunyah" (julukannya) melebihi namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Adapun sejarah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah memang tidak dikenal, namun, demikian itu satu kewajaran, karena bangsa Arab -seluruhnya- tenggelam dalam ke-jahiliyah-an dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja.
Mereka tidak peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah mereka.
Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya, jadilah setiap individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka, serta mereka memiliki murid yang mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka.
Para ahli sejarah sudah memahami, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukan merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kun-yah (julukan)nya, sebagaimana terjadi atas khalifah pertama, beliau dikenal dengan gelarnya Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka merupakan tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Belum pernah kita dengar pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas.(5)
Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap julukan Abu Hurairah dan ketenaran beliau dengannya melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para ulama Islam telah me-rajih-kan nama beliau di zaman Jahiliyah adalah Abdus Syamsi dan setelah masuk Islam adalah Abdurrahman. Kemudian tuduhan beliau tidak jelas asal usulnya juga satu kebodohan dari mereka (para penuduh ini) karena asal-usul dan nasabnya cukup terhormat.(6)
Apakah ihwal Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dalam hal ini berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi lainnya? Lalu, mengapa ketiak-jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisi beliau dalam Islam? Apakah ada dalam Kitabullah, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya serta meragukan terhadap semua riwayatnya dari hadits-hadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar.(7)
Syubhat 2
Mereka menyatakan: “Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulqaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai Muadzdzin“.(8)
Bantahan:
Pernyataan ini tidak benar, sebab Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sekitar 4 tahun lebih.(9) Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dalam pernyataannya,
لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ
“Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun.”. (10)
Sedang kepergiannya menemani Al ‘Alaa’ Al Hadhrami tidak menunjukkan beliau menetap di sana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang menyatakan beliau ber-mulazamah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun di atas. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar walaupun tidak seluruhnya (11) dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash Shidiq Radhiallahu’anhu tahun 9 H.
Syubhat 3
Mereka menyatakan : “Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada Nabi seperti yang lain, tapi untuk mendapatkan makanan. Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” (12)
Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Alllah untuk mengisi perutku.” Atau Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” kemudian menyatakan lagi : “Ia juga punya hobi makan, karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadist lesung’ (lesung -al-mihras- , alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”) (13)
Bantahan:
Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan mereka terhadap Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya dalam kata lain melakukannya hanya karena sedikit dunia yang rendah, memang diriwayatkan secara shahih dengan lafadz:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshar disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.” (14)
Pernyataan Beliau di lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” pengertiannya, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji. (15) Adapun pernyataan beliau: “selama perutku berisi“, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga beliau tidak pernah tidak hadir di sisi Nabi. (16)
Kalau demikian tuduhan atas beliau sangat dipaksakan sekali dan tidak ilmiah. Hal itu karena Abu Hurairah tidak sekedar menceritakan persahabatannya yang sama-sama dimiliki sahabat lainnya semata. Namun, Beliau dalam pernyatannya tersebut ingin juga menceritakan keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaan Beliau bersama Rasulullah yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.
Keistimewaan tersebut beliau jelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi“, lalu menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan akhlak yang luar biasa.(17)
Tuduhan Abu Hurairah banyak makan dan bersemangat mendapatkan makanan serta bersahabat dengan Nabi hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam atau kecintaan pada beliau merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan orang yang hasad atau orang yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata?
Apakah Abu Hurairah di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang di sana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dari beliau. Hingga sampai sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?
Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafadz Shuhbah (bersahabat), namun yang benar, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dengan lafadz ‘Alzamu‘ (selalu menemani dan mengikuti).
Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kta “mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu).
Sehingga pernyataan beliau ini jelas-jelas untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau terhadap hadits-hadits Nabi seperti telah jelas dari alur pernyataannya. Demikian juga para penuduh ini disamping telah melakukan tahrif (penyimpangan) di atas juga memotong pernyataan beliau yang merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan.
Padahal semua itu, beliau katakan untuk menjelaskan sebab pendorong menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Demikianlah, tahrif (menyimpangkan sesuatu dari lafadz atau makna sebenarnya) sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dan penyembah hawa nafsu.
Lalu, darimana mereka mengklaim diri mereka mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah yang telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah? (18)
Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna lafadz (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (’عَلَى مِلء بَطْنِيْ) bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan penipuan lain, sekaligus sebagai bukti mereka selalu mencari jalan untuk menjatuhkan pribadi Abu Hurairah.
Pernyataan Abu Hurairah ini telah difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah (ala mil’i bathni): “Maknanya aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi makanan bagiku. sedangkan maksud pernyataan beliau ‘melayani‘, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah”.(19)
Sehingga jelaslah kebatilan tuduhan ini.
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
1) Semua tuduhan dan kecaman dalam pembahasan ini diambil dengan huruf per huruf dari buku “Saqifah, Awal Perselisihan Umat” karya seorang syiah dari Lampung yang bernama O. Hashem, cetakan ketiga tahun 1415 H -1994 M, terbitan penerbit Al Muntazhar, Jakarta barat.
Buku ini sebenarnya hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari kalangan orang syiah dan musuh-musuh Islam. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan kelicikan dalam mengolah kata sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar pengetahuan islam yang baik.
Kemudian jawabannya kami ambilkan dari kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Al Syuruq, Bairut, As Sunnah Qabla Al Tadwin karya Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib, cetakan kelima tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan kitab-kitab hadits serta beberapa referinsi lainnya.
2) Kami gunakan kata ‘mereka‘ disini karena tuduhan ini juga dilontarkan orang lain, baik di Indonesia atau di negara lain agar lebih bersifat umum. Karena penulis buku Saqifah hanya mengekor dan menukil dari orang lain, diantaranya Abu Rayah (dimesir) atau orang-orang syi’ah lainnya.
3) Saqifah, op.cit hlm 12
4) ibid hlm 20.
5) Dikutip dari kitab Difa’un ‘An Abu Hurairah dari pernyataan Al Ustadz Al Khathib dalam kitab Abu Hurairah Rawiyatul ISlam, halaman 213.
6) Insya Allah akan disajikan pembahasan Abu Hurairah Pribadi menganggumkan. (- ibnu abdillah)
7) Dikutip dari pernyataan Dr. As Siba’i dalam Sunnah Wa Makanatuha, halaman 307.
8) Saqifah op.cit hlm 11
9) Siar A’lami An Nubala, karya Al Dzahabiy, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Maktabah Al Risalah, Bairut hlm II/426.
10) Musnad Ahmad,no. 16793; Abu Dawud, dalam Sunannya, kitab Al Thoharoh, Bab Al Nahyu ‘an Dzalika no 73 hlm I/19; Al Nasa’i, dalam sunannya kitan Al Ziinaah bab Al Akhdzi ‘An Al Syaarib no. 4968 hlm I/130 dengan sanad-sanad yang shahih.
11) Lihat Riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Difa’ ‘An Abi Hurairoh karya Abdul Mun’im Al’Izzi. Hlm 25-26.
12) Saqifah op.cit 12
13) ibid hlm 14.
14) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
15) Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, tanpa tahun, Maktabah Al Salafiyah, hlm V/28.
16) Fathul Bari, op.cit IV/288.
17) Dari pernyataan Al Mualimi rahimahullah dalam Al Anwaar Al Kaasyifah, halaman 147.
18) Lihat hadits - hadits tentang pujian Rasulullah kepadanya. (Insya Allah disajikan bersama Artikel Abu Hurairah pribadi yang mengagumkan - ibnu abdillah)
19) Syarh An Nawawi terhadap Shahih Muslim, tashhih Syeikh Kholil Ma’muun Syeihaa, cetakan ketiga tahun 1317 H, Dar Al Ma’rifah, Baerut hlm XV/270.
Akhirnya dengan cara ini mereka ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Biarlah mereka mampus dengan kemarahan dan kedengkiannya.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan slogan yang tampak luarnya rahmah dan ilmiah namun di dalamnya menyimpan dendam kesumat dan penipuan besar serta kepandiran.
Slogan studi kritis hadits, studi ilmiyah dan kebebasan berpendapat, ini semua hanyalah semu dan fatamorgana, tujuannya hanya satu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari racun yang mereka tebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara para sahabat yang mereka serang adalah perawi hadits Nabi terbanyak Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan melemparkan tuduhan ngawur dan kritikan tanpa dasar, namun dibungkus dengan kata-kata indah dan ilmiyah sehingga banyak menipu kaum muslimin yang belum mengenal aqidah dan syariat islam.
Maka dalam makalah singkat ini kita coba mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh islam kepada tokoh besar kita Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang terzahlimi dengan mencoba membantah dan membedahnya dengan tetap terus memohon kepada Allah kemudahan dan petunjuknya.
Diantara syubhat yang dilontarkan dengan zhalim oleh para musuh Islam adalah;
Syubhat 1
Mereka(2) menyatakan: “Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya.”. (3)
Juga menyatakan : “Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan Anshor, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.”. (4)
Bantahan
Memang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terkenal dengan "kunyah" (julukannya) melebihi namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Adapun sejarah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah memang tidak dikenal, namun, demikian itu satu kewajaran, karena bangsa Arab -seluruhnya- tenggelam dalam ke-jahiliyah-an dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja.
Mereka tidak peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah mereka.
Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya, jadilah setiap individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka, serta mereka memiliki murid yang mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka.
Para ahli sejarah sudah memahami, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukan merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kun-yah (julukan)nya, sebagaimana terjadi atas khalifah pertama, beliau dikenal dengan gelarnya Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka merupakan tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Belum pernah kita dengar pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas.(5)
Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap julukan Abu Hurairah dan ketenaran beliau dengannya melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para ulama Islam telah me-rajih-kan nama beliau di zaman Jahiliyah adalah Abdus Syamsi dan setelah masuk Islam adalah Abdurrahman. Kemudian tuduhan beliau tidak jelas asal usulnya juga satu kebodohan dari mereka (para penuduh ini) karena asal-usul dan nasabnya cukup terhormat.(6)
Apakah ihwal Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dalam hal ini berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi lainnya? Lalu, mengapa ketiak-jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisi beliau dalam Islam? Apakah ada dalam Kitabullah, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya serta meragukan terhadap semua riwayatnya dari hadits-hadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar.(7)
Syubhat 2
Mereka menyatakan: “Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulqaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai Muadzdzin“.(8)
Bantahan:
Pernyataan ini tidak benar, sebab Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sekitar 4 tahun lebih.(9) Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dalam pernyataannya,
لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ
“Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun.”. (10)
Sedang kepergiannya menemani Al ‘Alaa’ Al Hadhrami tidak menunjukkan beliau menetap di sana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang menyatakan beliau ber-mulazamah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun di atas. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar walaupun tidak seluruhnya (11) dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash Shidiq Radhiallahu’anhu tahun 9 H.
Syubhat 3
Mereka menyatakan : “Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada Nabi seperti yang lain, tapi untuk mendapatkan makanan. Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” (12)
Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Alllah untuk mengisi perutku.” Atau Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” kemudian menyatakan lagi : “Ia juga punya hobi makan, karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadist lesung’ (lesung -al-mihras- , alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”) (13)
Bantahan:
Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan mereka terhadap Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya dalam kata lain melakukannya hanya karena sedikit dunia yang rendah, memang diriwayatkan secara shahih dengan lafadz:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshar disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.” (14)
Pernyataan Beliau di lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” pengertiannya, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji. (15) Adapun pernyataan beliau: “selama perutku berisi“, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga beliau tidak pernah tidak hadir di sisi Nabi. (16)
Kalau demikian tuduhan atas beliau sangat dipaksakan sekali dan tidak ilmiah. Hal itu karena Abu Hurairah tidak sekedar menceritakan persahabatannya yang sama-sama dimiliki sahabat lainnya semata. Namun, Beliau dalam pernyatannya tersebut ingin juga menceritakan keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaan Beliau bersama Rasulullah yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.
Keistimewaan tersebut beliau jelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi“, lalu menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan akhlak yang luar biasa.(17)
Tuduhan Abu Hurairah banyak makan dan bersemangat mendapatkan makanan serta bersahabat dengan Nabi hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam atau kecintaan pada beliau merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan orang yang hasad atau orang yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata?
Apakah Abu Hurairah di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang di sana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dari beliau. Hingga sampai sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?
Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafadz Shuhbah (bersahabat), namun yang benar, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dengan lafadz ‘Alzamu‘ (selalu menemani dan mengikuti).
Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kta “mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu).
Sehingga pernyataan beliau ini jelas-jelas untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau terhadap hadits-hadits Nabi seperti telah jelas dari alur pernyataannya. Demikian juga para penuduh ini disamping telah melakukan tahrif (penyimpangan) di atas juga memotong pernyataan beliau yang merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan.
Padahal semua itu, beliau katakan untuk menjelaskan sebab pendorong menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Demikianlah, tahrif (menyimpangkan sesuatu dari lafadz atau makna sebenarnya) sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dan penyembah hawa nafsu.
Lalu, darimana mereka mengklaim diri mereka mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah yang telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah? (18)
Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna lafadz (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (’عَلَى مِلء بَطْنِيْ) bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan penipuan lain, sekaligus sebagai bukti mereka selalu mencari jalan untuk menjatuhkan pribadi Abu Hurairah.
Pernyataan Abu Hurairah ini telah difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah (ala mil’i bathni): “Maknanya aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi makanan bagiku. sedangkan maksud pernyataan beliau ‘melayani‘, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah”.(19)
Sehingga jelaslah kebatilan tuduhan ini.
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
1) Semua tuduhan dan kecaman dalam pembahasan ini diambil dengan huruf per huruf dari buku “Saqifah, Awal Perselisihan Umat” karya seorang syiah dari Lampung yang bernama O. Hashem, cetakan ketiga tahun 1415 H -1994 M, terbitan penerbit Al Muntazhar, Jakarta barat.
Buku ini sebenarnya hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari kalangan orang syiah dan musuh-musuh Islam. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan kelicikan dalam mengolah kata sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar pengetahuan islam yang baik.
Kemudian jawabannya kami ambilkan dari kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Al Syuruq, Bairut, As Sunnah Qabla Al Tadwin karya Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib, cetakan kelima tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan kitab-kitab hadits serta beberapa referinsi lainnya.
2) Kami gunakan kata ‘mereka‘ disini karena tuduhan ini juga dilontarkan orang lain, baik di Indonesia atau di negara lain agar lebih bersifat umum. Karena penulis buku Saqifah hanya mengekor dan menukil dari orang lain, diantaranya Abu Rayah (dimesir) atau orang-orang syi’ah lainnya.
3) Saqifah, op.cit hlm 12
4) ibid hlm 20.
5) Dikutip dari kitab Difa’un ‘An Abu Hurairah dari pernyataan Al Ustadz Al Khathib dalam kitab Abu Hurairah Rawiyatul ISlam, halaman 213.
6) Insya Allah akan disajikan pembahasan Abu Hurairah Pribadi menganggumkan. (- ibnu abdillah)
7) Dikutip dari pernyataan Dr. As Siba’i dalam Sunnah Wa Makanatuha, halaman 307.
8) Saqifah op.cit hlm 11
9) Siar A’lami An Nubala, karya Al Dzahabiy, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Maktabah Al Risalah, Bairut hlm II/426.
10) Musnad Ahmad,no. 16793; Abu Dawud, dalam Sunannya, kitab Al Thoharoh, Bab Al Nahyu ‘an Dzalika no 73 hlm I/19; Al Nasa’i, dalam sunannya kitan Al Ziinaah bab Al Akhdzi ‘An Al Syaarib no. 4968 hlm I/130 dengan sanad-sanad yang shahih.
11) Lihat Riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Difa’ ‘An Abi Hurairoh karya Abdul Mun’im Al’Izzi. Hlm 25-26.
12) Saqifah op.cit 12
13) ibid hlm 14.
14) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
15) Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, tanpa tahun, Maktabah Al Salafiyah, hlm V/28.
16) Fathul Bari, op.cit IV/288.
17) Dari pernyataan Al Mualimi rahimahullah dalam Al Anwaar Al Kaasyifah, halaman 147.
18) Lihat hadits - hadits tentang pujian Rasulullah kepadanya. (Insya Allah disajikan bersama Artikel Abu Hurairah pribadi yang mengagumkan - ibnu abdillah)
19) Syarh An Nawawi terhadap Shahih Muslim, tashhih Syeikh Kholil Ma’muun Syeihaa, cetakan ketiga tahun 1317 H, Dar Al Ma’rifah, Baerut hlm XV/270.
Langganan:
Postingan (Atom)