Aku sendiri??bagiku amanah adalah sesuatu yang harus dituntaskan secepatnya. Mungkin itu yang membuatku tidak pernah betah menjadi pengurus dalam bidang yang sama selama bertahun-tahun.Pokoknya kalo sudah selesai ya sudah. Tidak perlu ada improvisasi apalagi kebanggaan.
Penokohan. Barangkali banyak orang yang senang menjadi tokoh. Karena dengannya kita dikenal banyak orang, menjadi rujukan dalam bertindak, foto kita nangkring dimana-mana, dibutuhkan banyak orang, dan..dihargai. Itu yang paling penting. Tapi bagiku, menjadi tokoh membuat kita menjadi lebih mirip artis. Tidak punya privacy. Harus selalu kelihatan baik dihadapan banyak orang. Harus selalu tersenyum dalam keadaan susah maupun senang. Harus menjaga imej baik-baik agar tak jatuh. Pokoknya ribet deh.
Biasanya, jika mulai ada rasa ”dibutuhkan” dalam hatiku, aku mulai menghindar. Karena aku tidak suka menjadi orang yang dibutuhkan. Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat saat ada, tapi kalo tidak ada tidak mengubah apa pun (tidak apa-apa ji maksudnya). Prinsip yang aneh
Tapi sebuah kesadaran lain mengetuk hatiku kini.Jika hidup dipenuhi pilihan, maka setiap orang harus punya sesuatu yang dipegang teguh agar tidak bingung menghadapi banyak pilihan.Pegangan itu bernama idealisme. Dan aku telah memilih islam sebagai idealismeku.Idealisme bagiku adalah sesuatu yang kita yakini kebenarannya, kita pegang teguh dan kita cintai. Dan salah satu konsekuensi dari cinta adalah bersedia mengorbankan apa pun yang kita punya.Apapun.
Maka tidak layak bagi seorang yang mengaku kader dakwah untuk tidak bersungguh-sungguh dalam berjuang atau ikut berjuang dalam barisan para mujahid hanya karena keinginan untuk memperoleh keuntungan materi, wanita,perhatian, popularitas dsb. Naudzubillah min dzalik. Sungguh, dakwah ini tidak menyediakan semua itu. Disini,di jalan dakwah ini hanya ada sumur-sumur amal yang akan kita gali untuk mencari mutiara lalu kita tukarkan dengan istana di surga Allah kelak. Sumur-sumur amal itu adalah amanah. Dan mutiaranya adalah pahala. Menurutku, memang ada tendensi yang harus kita cari. Tapi tendensi itu bernama gelar kesyahidan.Sebuah gelar nan agung yang akan disematkan oleh yang Maha Agung. Allah Rabbul Izzati.Ah, betapa indahnya jika nama kita disebut-sebut di kalangan penghuni langit. Lalu pundak kita akan ditepuk-tepuk oleh Rasulullah tercinta, dan Allah pun akan tersenyum pada kita.
Aduh, aku jadi malu membayangkannya. Apa aku pantas berharap seperti itu.Bukankah gelar itu juga yang menjadi obsesi para sahabat dan syuhada.Sebuah obsesi yang membuat mereka rela pergi dari negerinya tanpa membawa apa-apa. Rela menyerahkan hartanya dan menyisakan Allah dan Rasulnya kepada keluarga, rela meninggalkan kenikmatan nan halal di malam pertama demi memenuhi panggilan jihad. Sedangkan aku?Rasanya aku akan kalah bersaing dengan mereka.Tapi sudahlah, setidaknya aku juga punya mimpi seperti itu. Meskipun kata mujahidah farma masuk surga harus direncanakan, tapi aku yakin mimpi itulah yang akan meggerakkan kakiku agar semakin gesit melangkah untuk mempersembahkan yang terindah bagi dakwah ini. Lebih tepatnya untuk sebuah obsesi : Mencapai gelar syahidah, menjadi orang yang ditepuk pundaknya oleh Rasulullah, dan diberikan senyum oleh Allah.
Back to the first, sekarang saatnya untuk mengubah cara pandang tentang amanah (bagi yang keliru memaknai amanah), ataupun menyegarkan kembali pemahaman (jika pemahaman itu mulai usang) bahwa amanah adalah peluang untuk mencapai gelar kesyahidan. So,jika kita terobsesi dengan gelar syahidah, bersungguh-sungguhlah dalam menjalankan amanah.