Coto Makassar diduga pula telah ada sejak Somba Opu (pusat Kerajaan Gowa) berjaya pada tahun 1538 hingga terhidangkan dalam bentuk warung-warung yang ada sekarang dibeberapa pinggiran jalan. Sajian coto makassar diduga terpengaruh pula oleh makanan cina yang telah datang di abad 16, ini terlihat dari sambal yang digunakan yakni sambal tao-co merupakan bagian dari ketata bogaan Cina yang mempengaruhi budaya ketata bogaan Makassar,
Hidangan coto makassar ini, dalam aliran modern digolongkan sebagai hidangan sup. Bila dalam tradisi sejarah masyarakat Eropa yang muncul pada era sebelum revolusi industri di Inggris, sup disandingkan dengan roti sebagai pengganjal perut di malam hari. Maka Coto Makassar juga telah menjadi makanan bagi para pengawal kerajaan untuk mengisi perut di subuh hari sebelum bertugas dipagi harinya.
Coto Makassar pun dianggap hambar bila tak diiringi dengan ketupat atau burasa. Keenakan menikmati coto makassar tak terlepas pula dari tradisi peramuaanya yang secara khusus diolah dalam kuali tanah yang disebut: korong butta atau uring butta dan dengan rampah patang pulo (40 macam rempah) yang terdiri dari kacang, kemiri, cengkeh, pala, foeli, sere yang ditumbuk halus, lengkuas, merica, bawang merah, bawang putih, jintan, ketumbar merah, ketumbar putih, jahe, laos, daun jeruk purut, daun salam, daun kunyit, daun bawang, daun seldri, daun prei, lombok merah, lombok hijau, gula talla, asam, kayu manis, garam, papaya muda untuk melembutkan daging, dan kapur untuk membersihkan jerohan.
Khasnya rasa dari kentalnya coto Makassar dari ramuan rempahnya yang juga berfungsi sebagai penawar zat kolesterol yang terdapat dalam hati, babat, jantung, limpah dsb. Rasa khas inilah yang menurut dugaan bahwak keberadaan soto babat dari Madura, soto Tegal, soto Betawi, terinspirasi dari coto makassar karena dahulu dibawa oleh para pelaut kedaerah tempa tsoto yang lain berada sehingga diduga bahwa coto Makassar itu “lebih tua” dari pada soto di persada Nusantara ini.
Di Makassar, Coto disajikan dengan harga yang beragam. Dari mulai Rp. 3.500,- per mangkuk hingga Rp. 7.000,-, tergantung kelas si pedagang. Beberapa pedagang Coto yang paling terkenal seperti Coto Gagak, Coto Latimojong dan Coto Paraikatte biasanya sudah dipadati pengunjung sejak pagi hari sekitar pukul 7. Warung-warung Coto ini biasanya buka hingga malam. Ada juga beberapa warung yang mengambil spesialisasi buka di malam hari hingga pagi hari tiba, namanya Coto Bagadang (begadang). Waktu yang paling tepat untuk menyantap Coto memang adalah di pagi hari hingga siang hari, atau malam hingga tengah malam. Tapi itu bukan patokan utama, karena Coto sebenarnya bisa disantap kapan saja.
CARA MEMBUAT
Siapa yang tak tahu coto Makassar. Rasanya sangat kental sapi, pedas, dan tidak terlalu encer. makanan satu ini selalu dapat ditemui di sudut-sudut jalan. Namun, jika Anda berselera dengan coto satu ini, silakan buat sendiri, karena kami telah menyediakan resep terenak dari coto ini. Selamat mencoba.
Ingredients:
500 gram daging sapi, sandung lamur
500 gram babat, rebus matang
300 gram hati sapi, rebus matang
200 gram jantung sapi, rebus matang
5 batang serai memarkan4 sm lengkuas memarkan
2 cm jahe memarkan
5 lembar daun salam
250 gram kacang tanah, goreng haluskan
2,5 liter air cuci beras/tajin
1 sdm bumbu kaldu bubuk rasa sapi
6 sdm minyak sayur
Haluskan:
10 siung bawang putih,
8 butir kemiri sangrai1 sdm ketumbar sangrai
1 sdt jintan sangrai
1 sdt garam dan
1 sdt merica butiran
Pelengkap : bawang goreng, irisan daun bawang dan irisan seledri, sambal taocoHaluskan : 10 bawang merah, 5 siung bawang putih, 10 cabai keriting rebus sebentar, 100 gram taoco, tumis dengan 6 sdm minyak sayur hingga matang, haluskan tambahkan garam dan gula merah
Directions:
1. Rebus daging sapi, babat, hati dan jantung, beri serai, lengkuas, jahe dan salam setelah matang angkat, tiriskan, potong dadu. Jerohan sapi matang, potong dadu. Sisihkan.
2. Panaskan minyak, tumis bumbu yang dihaluskan hingga harum, masukkan kedalam kaldu, tambahkan kacang tanah goreng, didihkan.
3. Penyajian, siapkan mangkuk, isi dengan daging dan jerohan beri kuahnya, taburi bawang goreng, irisan daun bawang dan seledri sajikan dengan buras dan sambal taoco
4. Sajikan hangat.
Kamis, 24 Desember 2009
Sabtu, 19 Desember 2009
Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (3)
Syubhat 6
Mereka menyatakan: “Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain. Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadits di zaman Umar. Ummul Mukminin ‘A’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu. (36)
Juga menyatakan: “Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur-Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhari, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shahih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadits, Muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shahih 50); semuanya hanya 1411 hadits dan itu berarti Cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Tholhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdurraohman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya. (37)
Bantahan:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairah berdusta? Sebagaimana dituduhkan diatas. Itu semua tidak benar, sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairah. Sedangkan riwayat mereka menuduh Abu Hurairah berdusta diriwayatkan dari Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar penentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab Radhiallahu’anhu berkata kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu: “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar Radhiallahu’anhu itu terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits mungkin terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya. (38)
Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar Radhiallahu’anhu kepada hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian pernyataan Umar Radhiallahu’anhu sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar Radhiallahu’anhu kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar Radhiallahu’anhu, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika hadits-hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih menurut pandangan Umar Radhiallahu’anhu, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.(39)
Dan terdapat kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairah, diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata :
أُتِيَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ تَشِمُ فَقَامَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ مَنْ سَمِعَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ
“Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,“Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapa diantara kalian yang mendengar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang tato?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata, “Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya,“Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato’ “(40)
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah Radhiallahu’anha yang disebutkan dalam tuduhan mereka diatas adalah pernyataan beliau :
أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ
“Tidakkah Abu Hurairah membuatmu heran, datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari Rasulullah memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian.” (41)
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah Radhiallahu’anhu tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah Radhiallahu’anhu tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meninggalkan tempat sebelum ia Radhiallahu’anhu selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Jika aku menjumpainya, niscaya aku akan menjawabnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskannya, pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat.(42) Perkataan Aisyah Radhiallahu’anhu “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Tidak ada dalam pernyataan ‘A’isyah yang menunjukkan ia menolak hadits Abu Hurairah atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘A’isyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairah sebagaimana dalam hadits Khobaab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
“Wahai Abdullah bin Umar tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Abu Hurairah, bahwa beliau mendengar Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menyolatkannya kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua Qiraath. Setiap Qirath seperti gunung uhud. Barang siapa yang menyolatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti gunung uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khobaab ke ‘A’isyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurariroh tersebut kemudian kembali kepadanya memberitahu pernyataan ‘A’isyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam kerikil masjid yang ia bolak-balikkan ditangannya sampai datang utusan beliau tersebut. Lalu berkata utusan tersebut: ”A’isyah berkata: ‘Sungguh benar Abu Hurairah’. Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-krikil yang ada ditangannya ke tanah, kemudian berkata: ‘Kita telah kehilangan banyak qiraath’.(43)
Sedangkan pernyataan Imam ‘Ali yang mereka kemukakan diatas merupakan kedustaan sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairah: “Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan yang menyakinkan, bahwa Ali Radhiallahu’anhu menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskaafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, (maka) Ali Radhiallahu’anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ialah Abu Hurairah Ad Dausi”.
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskaafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang menuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah.(44) Bahkan demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali Radhiallahu’anhu, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu.”(45)
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, maka ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memaparkan apa yang beliau dengar, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah.
Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.(46)
Kemudian mereka mulai mempertanyakan kenapa Abu Hurairah banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti Khalifah Al Rasyidin. Usaha membandingkan riwayat Abu Hurairah dengan riwayat Khulafa’ Ar Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
Memang benar bahwa Khulafa’ Ar Rasyidin telah mendahului Abu Hurairah dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli qur’an dan Qadhi’(hakim). Sehingga mereka telah menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Khalid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatan beliau dari Rasululllah karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairah dengan banyaknya periwayatan beliau karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
Abu Hurairah meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usia panjang beliau. Hal ini membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau Khulafa’ Ar Rasyidin tidak benar.(47)
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairah sendiri dalam pernyataannya:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”(48)
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Sedang aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya ketika mereka lupa.”(49)
Dalam lafadz Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan kami dari turut serta bersama Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam satu kalimat yang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ajarkan kepadaku atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku“.(50)
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, beliau telah mencurahkan seluruh potensinya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditambah dengan kemampuan beliau menghafal yang demikian kuat dan waktu mulazamahnya setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentunya hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ada dikalangan sahabat lain.
Hal ini terbukti. Kita dapati sebagian besar kibaar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual beli di pasar dari pada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang dilukiskan oleh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Lihatlah, Al Faruq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai Abu Said Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata: “Aku belum tahu hadits ini termasuk perkara Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini” .(51)
Bahkan tidak hanya jual-beli yang melalaikan Beliau Radhiallahu’anhu semata. Juga tempat tinggal Beliau yang berada di ‘Awaali (52) Madinah. Tidak seperti Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang hanya beberapa langkah dari kamar Aisyah Radhiallahu’anhu. Jika demikian, maka tidaklah aneh jika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).(53)
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orang-orang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain mereka sendirilah yang berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan oleh umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang seluruh amalan yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdul Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka radiyallahu’anhum.
Kita tidak mendapatkan mereka banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka.
Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena banyaknya sahabat-sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (yang telah meriwayatkan hadits). Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkan darinya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang kedua adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus bermulazamah (mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dengan konsisten; sedangkan Anas dan Abu Hurairah radiyallahu’anhuma secara terus-menerus mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk melayani Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hal itu menunjukkan secara pasti, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para shahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya dalam bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sehingga terkadang beliau meriwayatkannya dari mereka.(54)
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar Radhiallahu’anhu, pada masa Abu Bakar Radhiallahu’anhu, (ia) disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu ia sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal Radhiallahu’anhu mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu beliau menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, radiyallahu’anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata, “Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khathab?” Muadz Radhiallahu’anhu menjawab, "Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali radhiyallahu’anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh shahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat.
Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang.
Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syariatNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat hati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.(55)
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairah dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairah yang mampu menghafal 5374 hadits? Atau kaget beliau menghafal sejumlah ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairah. Kita lihat banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar tentang nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammaad Al Raawiyah orang yang paling tahu sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abaas dan hafalan imam Az Zuhriy, Asy Sya’bi dan Qatadah bin Da’amah Al Sadusi? Jadi hafalan Abu Hurairah bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5374 itu tidak semuanya shahih.
Sehingga Abu Hurairah tidak dapat dituduh melalui hafalan dan banyaknya hadits beliau ini. Jika ia kaget dengan kemampuan Abu Hurairah menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasulullah selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa sosial, politik dan pensyari’atan secara umum sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya tersebut.(56)
Penutup.
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairah masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah diatas mudah-mudahan dapat menjadi ibroh bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam mereka.
Sebagai penutup kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib dalam kitab As Sunnah Qabla Al Tadwiin dari Al Mustadrak ‘Ala Al Shahihain karya imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
36) Saqifah op.cit hlm 14.
37) Saqifah op.cit hlm 16.
38) Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir VIII/106.
39) Zhulumaatu Abi Ar Rayyah, halaman 43.
40) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Libaas bab Al Mustawsyimah no. 5490 hlm VII/214
41) Muslim, dalam Shahihnya kitab AL Ilmu Bab Sardu Al Hadits no. 3303
42) Fathul Bari, VII/389-390.
43) Muslim dalam Shahihnya kitab Al Jana’iz Bab Fadhlu ‘Ala Al Sholat Waittiba’uha no. 1574.
44) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskaafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468 Cet. Beirut.
45) Difa’ ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 123
46) ibid hlm 87 dengan perubahan.
47) Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 450.
48) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
49) Al Musnad, XIV/122.
50) Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
51) Muslim, VI/179.
52) Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
53) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 72-75 secara singkat.
54) Al Anwaa’u Al Kasyifah, halaman 141. kami nukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91
55) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91.
56) Dinukil secara bebas dari Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 449.
57) As Sunnah Qabla Tadwiin op.cit hlm 467-468.
Tulisan ini di posting ulang dari sumber:
1. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (1)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=207157338060
2. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (2)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=207293203060
3. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (3)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=207344738060
Mereka menyatakan: “Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain. Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadits di zaman Umar. Ummul Mukminin ‘A’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu. (36)
Juga menyatakan: “Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur-Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhari, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shahih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadits, Muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shahih 50); semuanya hanya 1411 hadits dan itu berarti Cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Tholhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdurraohman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya. (37)
Bantahan:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairah berdusta? Sebagaimana dituduhkan diatas. Itu semua tidak benar, sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairah. Sedangkan riwayat mereka menuduh Abu Hurairah berdusta diriwayatkan dari Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar penentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab Radhiallahu’anhu berkata kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu: “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar Radhiallahu’anhu itu terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits mungkin terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya. (38)
Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar Radhiallahu’anhu kepada hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian pernyataan Umar Radhiallahu’anhu sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar Radhiallahu’anhu kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar Radhiallahu’anhu, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika hadits-hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih menurut pandangan Umar Radhiallahu’anhu, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.(39)
Dan terdapat kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairah, diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata :
أُتِيَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ تَشِمُ فَقَامَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ مَنْ سَمِعَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ
“Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,“Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapa diantara kalian yang mendengar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang tato?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata, “Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya,“Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato’ “(40)
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah Radhiallahu’anha yang disebutkan dalam tuduhan mereka diatas adalah pernyataan beliau :
أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ
“Tidakkah Abu Hurairah membuatmu heran, datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari Rasulullah memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian.” (41)
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah Radhiallahu’anhu tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah Radhiallahu’anhu tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meninggalkan tempat sebelum ia Radhiallahu’anhu selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Jika aku menjumpainya, niscaya aku akan menjawabnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskannya, pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat.(42) Perkataan Aisyah Radhiallahu’anhu “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Tidak ada dalam pernyataan ‘A’isyah yang menunjukkan ia menolak hadits Abu Hurairah atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘A’isyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairah sebagaimana dalam hadits Khobaab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
“Wahai Abdullah bin Umar tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Abu Hurairah, bahwa beliau mendengar Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menyolatkannya kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua Qiraath. Setiap Qirath seperti gunung uhud. Barang siapa yang menyolatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti gunung uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khobaab ke ‘A’isyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurariroh tersebut kemudian kembali kepadanya memberitahu pernyataan ‘A’isyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam kerikil masjid yang ia bolak-balikkan ditangannya sampai datang utusan beliau tersebut. Lalu berkata utusan tersebut: ”A’isyah berkata: ‘Sungguh benar Abu Hurairah’. Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-krikil yang ada ditangannya ke tanah, kemudian berkata: ‘Kita telah kehilangan banyak qiraath’.(43)
Sedangkan pernyataan Imam ‘Ali yang mereka kemukakan diatas merupakan kedustaan sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairah: “Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan yang menyakinkan, bahwa Ali Radhiallahu’anhu menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskaafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, (maka) Ali Radhiallahu’anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ialah Abu Hurairah Ad Dausi”.
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskaafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang menuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah.(44) Bahkan demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali Radhiallahu’anhu, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu.”(45)
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, maka ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memaparkan apa yang beliau dengar, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah.
Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.(46)
Kemudian mereka mulai mempertanyakan kenapa Abu Hurairah banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti Khalifah Al Rasyidin. Usaha membandingkan riwayat Abu Hurairah dengan riwayat Khulafa’ Ar Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
Memang benar bahwa Khulafa’ Ar Rasyidin telah mendahului Abu Hurairah dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli qur’an dan Qadhi’(hakim). Sehingga mereka telah menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Khalid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatan beliau dari Rasululllah karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairah dengan banyaknya periwayatan beliau karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
Abu Hurairah meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usia panjang beliau. Hal ini membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau Khulafa’ Ar Rasyidin tidak benar.(47)
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairah sendiri dalam pernyataannya:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”(48)
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Sedang aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya ketika mereka lupa.”(49)
Dalam lafadz Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan kami dari turut serta bersama Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam satu kalimat yang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ajarkan kepadaku atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku“.(50)
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, beliau telah mencurahkan seluruh potensinya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditambah dengan kemampuan beliau menghafal yang demikian kuat dan waktu mulazamahnya setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentunya hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ada dikalangan sahabat lain.
Hal ini terbukti. Kita dapati sebagian besar kibaar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual beli di pasar dari pada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang dilukiskan oleh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Lihatlah, Al Faruq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai Abu Said Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata: “Aku belum tahu hadits ini termasuk perkara Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini” .(51)
Bahkan tidak hanya jual-beli yang melalaikan Beliau Radhiallahu’anhu semata. Juga tempat tinggal Beliau yang berada di ‘Awaali (52) Madinah. Tidak seperti Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang hanya beberapa langkah dari kamar Aisyah Radhiallahu’anhu. Jika demikian, maka tidaklah aneh jika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).(53)
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orang-orang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain mereka sendirilah yang berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan oleh umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang seluruh amalan yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdul Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka radiyallahu’anhum.
Kita tidak mendapatkan mereka banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka.
Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena banyaknya sahabat-sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (yang telah meriwayatkan hadits). Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkan darinya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang kedua adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus bermulazamah (mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dengan konsisten; sedangkan Anas dan Abu Hurairah radiyallahu’anhuma secara terus-menerus mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk melayani Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hal itu menunjukkan secara pasti, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para shahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya dalam bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sehingga terkadang beliau meriwayatkannya dari mereka.(54)
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar Radhiallahu’anhu, pada masa Abu Bakar Radhiallahu’anhu, (ia) disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu ia sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal Radhiallahu’anhu mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu beliau menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, radiyallahu’anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata, “Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khathab?” Muadz Radhiallahu’anhu menjawab, "Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali radhiyallahu’anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh shahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat.
Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang.
Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syariatNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat hati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.(55)
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairah dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairah yang mampu menghafal 5374 hadits? Atau kaget beliau menghafal sejumlah ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairah. Kita lihat banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar tentang nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammaad Al Raawiyah orang yang paling tahu sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abaas dan hafalan imam Az Zuhriy, Asy Sya’bi dan Qatadah bin Da’amah Al Sadusi? Jadi hafalan Abu Hurairah bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5374 itu tidak semuanya shahih.
Sehingga Abu Hurairah tidak dapat dituduh melalui hafalan dan banyaknya hadits beliau ini. Jika ia kaget dengan kemampuan Abu Hurairah menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasulullah selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa sosial, politik dan pensyari’atan secara umum sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya tersebut.(56)
Penutup.
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairah masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah diatas mudah-mudahan dapat menjadi ibroh bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam mereka.
Sebagai penutup kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib dalam kitab As Sunnah Qabla Al Tadwiin dari Al Mustadrak ‘Ala Al Shahihain karya imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
“Orang yang telah buta hatinya mencela Abu Hurairah hanya karena ingin menolak hadits beliau. Karena mereka tidak faham maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’aththil jahmi (pengikut alirat sesat Jahmiyah (pen)) yang mendengar hadits-hadits beliau yang menyelisihi madzhab mereka yang kufur, lalu mencela Abu Hurairah dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah telah sucikan darinya dalam rangka membuat opini pada orang awam dan rendahan bahwa hadits-hadits beliau tidak benar. Adakalanya ia seorang khowarij yang mengangkat pedang kepada kaum muslimin dan tidak memandang kewajiban mentaati khalifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyelisihi madzhabnya yang sesat, tidak dapat cara menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah maka ujungnya mencela Abu Hurairah. Atau seorang Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan islam dan kaum muslimin dan mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti takdir yang telah ditakdirkan Allah dahulu dan tetapkan sebelum hamba itu melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam menetapkan taqdir, tidak mendapatkan hujjah yang mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka hujahnya adalah menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Atau seorang bodoh yang ingin menjadi faqih dan mencarinya bukan dari tempatnya, jika mendengar berita Abu Hurairah menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya dengan taklid tanpa hujjah, maka mencela Abu Hurairah dan menolak hadits-haditsnya yang menyelisihi madzhab mereka dan berhujah dengan hadits-hadits Abu Hurairah atas orang yang menyelisihinya jika haditsnya tersebut sesuai dengan madzhabnya!!!”.(57)
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
36) Saqifah op.cit hlm 14.
37) Saqifah op.cit hlm 16.
38) Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir VIII/106.
39) Zhulumaatu Abi Ar Rayyah, halaman 43.
40) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Libaas bab Al Mustawsyimah no. 5490 hlm VII/214
41) Muslim, dalam Shahihnya kitab AL Ilmu Bab Sardu Al Hadits no. 3303
42) Fathul Bari, VII/389-390.
43) Muslim dalam Shahihnya kitab Al Jana’iz Bab Fadhlu ‘Ala Al Sholat Waittiba’uha no. 1574.
44) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskaafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468 Cet. Beirut.
45) Difa’ ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 123
46) ibid hlm 87 dengan perubahan.
47) Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 450.
48) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
49) Al Musnad, XIV/122.
50) Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
51) Muslim, VI/179.
52) Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
53) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 72-75 secara singkat.
54) Al Anwaa’u Al Kasyifah, halaman 141. kami nukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91
55) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 91.
56) Dinukil secara bebas dari Al Sunnah Qabla Al Tadwiin op.cit hlm 449.
57) As Sunnah Qabla Tadwiin op.cit hlm 467-468.
Tulisan ini di posting ulang dari sumber:
1. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (1)
http://www.facebook.com/no
2. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (2)
http://www.facebook.com/no
3. Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (3)
http://www.facebook.com/no
Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (2)
Syubhat 4
Mereka berkata: “Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.
Bukhari: “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Tholib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku kerumahnya”. Dibagian lain: “Aku meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al Qur’an) yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu Tholib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya”. (20)
Bantahan:
Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang lengkapnya berbunyi:
اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ
“Demi Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanah karena lapar dan aku ganjal perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh pada suatu hari aku duduk di jalan yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar menjamuku. Beliau pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar beliau menjamuku. Namun beliau pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku. Beliau mengetahui yang sedang bergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dari wajahku. Kemudian Beliau memanggilku, ”Wahai, Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Ikuti aku.”. Beliau beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasuki rumah, beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana). Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam) Radhiallahu’anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.” Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam shadaqah, Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengirimkannya kepada Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya". Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengizinkannya. Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya, “Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi, “Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda, “Wahai, Abu Hirr. Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda lagi, “Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa“. (21)
Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka terdahulu dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang beramal untuk sesuap makanan, namun apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak seluruh hadits beliau? Apalagi sampai menghina beliau sebagai orang yang punya hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung.
Orang yang meneliti kehidupan para sahabat menemukan bahwa beliau dalam hal ini tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal yang serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqaa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafadz:
“Kami bertempat tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi, ”Aku termasuk yang tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba-tiba aku melihat Abu Bakar di kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu beliaupun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumah (beliau) kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan beliau (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan menceritakan hal tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.” (22)
apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini?
Sedangkan kisah beliau dengan Ja’far bin Abu Thalib dibawakan Imam Bukhari dengan lafadz:
خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا فِيهَا
Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan tersebut. (23)
Lihatlah perbedaan dan penukilan ngawur yang menjadi cirri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!!!
Syubhat 5
Mereka menyatakan: “Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khathab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam. (24)
Bantahan:
Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai amir (gubernur) Bahrain.
Beliau menghadap Umar bin Khathab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar Radhiallahu’anhu bertanya padanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi,“Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi, “Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, “Sebanyak 20.000.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, “Aku berdagang.” Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.” (25)
Dan dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata padanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab, “Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana berkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab, “Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang), juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.”(26)
Kita lihat para musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mempergunakan perkataan keras Umar Radhiallahu’anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan menuduhnya mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidak demikian.
Umar Radhiallahu’anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap sejumlah pejabatnya (27) dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah dengan perlakuan semacam ini. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir.(28) Lalu Umar Radhiallahu’anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiallahu’anhu, dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian.(29) Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.(30)
Umar Radhiallahu’anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiallahu’anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam me-manage perkara-perkara kaum muslimin. (31)
Sungguh Umar Radhiallahu’anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Berita perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya. (32)
Khalifah Umar Radhiallahu’anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikannya kepada mereka setelah pengambilan tersebut dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka tanpa ada syubhat.(33)
Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayat secara lengkap.
Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terhadap Umar Radhiallahu’anhu, ketika Umar Radhiallahu’anhu berkata padanya, “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.”
Dengan demikian jelaslah Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginan beliau mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya.
Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat diatas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar Radhiallahu’anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa, (tidak mau) padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya,“Sesungguhnya Yusuf seorang Nabi dan anak seorang Nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Kenapa engkau tidak berkata lima?”. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab, “Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”. Seorang perawi (dari Ibnu Sirin) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. Lalu Abu Hurairah berkata lagi (yg dua hal),“Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.”(34)
Seandainya Umar Radhiallahu’anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar Radhiallahu’anhu meragukan sifat amanah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu sedikit saja, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Akan tetapi, beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.(35)
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
20) Saqifah op.cit hlm 20.
21) Shahih Al Bukhari,dalam Shahihnya kitab Al Riqaaq, Bab Kaifa ‘Isy Rasululloh wa Ashhabihi Wa Takhallihim min Al Dunya no. 5971 hlm VIII/120.
22) Dinukil dari Difaun ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 45-46 dari Al Mustadrak, IV/116.
23) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Ath’imah, Bab Al Halwa wa Al Asl, no. 5431 hlm IX/557.
24) Saqifah op.cit hlm 13.
25) Thabaqaat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih.
26) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269.
27) Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13.
28) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di hlm. 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, 105/J.3/Q.
29) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269; dinukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa‘ad, 105/J.3/Q.2.
30) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 140 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33.
31) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
32) Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurrahman Al Mu’allimiy halaman 213.
33) ibid
34) Al Amwaal, oleh Ibnu Ubaid, halaman 269 dengan sanad yang shahih dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasatuni dari lbnu Sirin, dan kisah itu sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsaar, I/53. diambil dari AL Difa’ ‘An Abu Hurairoh op.cit hlm 142.
35) As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
Mereka berkata: “Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.
Bukhari: “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Tholib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku kerumahnya”. Dibagian lain: “Aku meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al Qur’an) yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu Tholib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya”. (20)
Bantahan:
Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang lengkapnya berbunyi:
اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ
“Demi Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanah karena lapar dan aku ganjal perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh pada suatu hari aku duduk di jalan yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar menjamuku. Beliau pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar beliau menjamuku. Namun beliau pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku. Beliau mengetahui yang sedang bergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dari wajahku. Kemudian Beliau memanggilku, ”Wahai, Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Ikuti aku.”. Beliau beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasuki rumah, beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana). Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam) Radhiallahu’anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.” Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam shadaqah, Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengirimkannya kepada Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya". Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengizinkannya. Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya, “Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi, “Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda, “Wahai, Abu Hirr. Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda lagi, “Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa“. (21)
Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka terdahulu dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang beramal untuk sesuap makanan, namun apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak seluruh hadits beliau? Apalagi sampai menghina beliau sebagai orang yang punya hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung.
Orang yang meneliti kehidupan para sahabat menemukan bahwa beliau dalam hal ini tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal yang serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqaa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafadz:
“Kami bertempat tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi, ”Aku termasuk yang tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba-tiba aku melihat Abu Bakar di kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu beliaupun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumah (beliau) kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan beliau (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan menceritakan hal tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.” (22)
apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini?
Sedangkan kisah beliau dengan Ja’far bin Abu Thalib dibawakan Imam Bukhari dengan lafadz:
خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا فِيهَا
Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan tersebut. (23)
Lihatlah perbedaan dan penukilan ngawur yang menjadi cirri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!!!
Syubhat 5
Mereka menyatakan: “Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khathab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam. (24)
Bantahan:
Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai amir (gubernur) Bahrain.
Beliau menghadap Umar bin Khathab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar Radhiallahu’anhu bertanya padanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi,“Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab,“Tidak.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya lagi, “Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, “Sebanyak 20.000.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, “Aku berdagang.” Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.” (25)
Dan dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata padanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab, “Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana berkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab, “Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang), juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.”(26)
Kita lihat para musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mempergunakan perkataan keras Umar Radhiallahu’anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan menuduhnya mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidak demikian.
Umar Radhiallahu’anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap sejumlah pejabatnya (27) dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah dengan perlakuan semacam ini. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir.(28) Lalu Umar Radhiallahu’anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiallahu’anhu, dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian.(29) Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.(30)
Umar Radhiallahu’anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiallahu’anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam me-manage perkara-perkara kaum muslimin. (31)
Sungguh Umar Radhiallahu’anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Berita perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya. (32)
Khalifah Umar Radhiallahu’anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikannya kepada mereka setelah pengambilan tersebut dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka tanpa ada syubhat.(33)
Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayat secara lengkap.
Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terhadap Umar Radhiallahu’anhu, ketika Umar Radhiallahu’anhu berkata padanya, “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.”
Dengan demikian jelaslah Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginan beliau mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya.
Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat diatas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar Radhiallahu’anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa, (tidak mau) padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya,“Sesungguhnya Yusuf seorang Nabi dan anak seorang Nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Kenapa engkau tidak berkata lima?”. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab, “Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”. Seorang perawi (dari Ibnu Sirin) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. Lalu Abu Hurairah berkata lagi (yg dua hal),“Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.”(34)
Seandainya Umar Radhiallahu’anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar Radhiallahu’anhu meragukan sifat amanah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu sedikit saja, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Akan tetapi, beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.(35)
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
20) Saqifah op.cit hlm 20.
21) Shahih Al Bukhari,dalam Shahihnya kitab Al Riqaaq, Bab Kaifa ‘Isy Rasululloh wa Ashhabihi Wa Takhallihim min Al Dunya no. 5971 hlm VIII/120.
22) Dinukil dari Difaun ‘An Abi Hurairoh, op.cit hlm 45-46 dari Al Mustadrak, IV/116.
23) Al Bukhari, dalam Shahihnya kitab Al Ath’imah, Bab Al Halwa wa Al Asl, no. 5431 hlm IX/557.
24) Saqifah op.cit hlm 13.
25) Thabaqaat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih.
26) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269.
27) Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13.
28) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di hlm. 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, 105/J.3/Q.
29) Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269; dinukil dari Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa‘ad, 105/J.3/Q.2.
30) Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 140 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33.
31) Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
32) Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurrahman Al Mu’allimiy halaman 213.
33) ibid
34) Al Amwaal, oleh Ibnu Ubaid, halaman 269 dengan sanad yang shahih dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasatuni dari lbnu Sirin, dan kisah itu sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsaar, I/53. diambil dari AL Difa’ ‘An Abu Hurairoh op.cit hlm 142.
35) As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
Menjawab Syubhat Tentang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (1)
Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam(1). Tujuan mereka sebenarnya hanyalah berusaha mencela dan merendahkan para saksi kebenaran islam dan hendak mencela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan menyatakan beliau memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja.
Akhirnya dengan cara ini mereka ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Biarlah mereka mampus dengan kemarahan dan kedengkiannya.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan slogan yang tampak luarnya rahmah dan ilmiah namun di dalamnya menyimpan dendam kesumat dan penipuan besar serta kepandiran.
Slogan studi kritis hadits, studi ilmiyah dan kebebasan berpendapat, ini semua hanyalah semu dan fatamorgana, tujuannya hanya satu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari racun yang mereka tebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara para sahabat yang mereka serang adalah perawi hadits Nabi terbanyak Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan melemparkan tuduhan ngawur dan kritikan tanpa dasar, namun dibungkus dengan kata-kata indah dan ilmiyah sehingga banyak menipu kaum muslimin yang belum mengenal aqidah dan syariat islam.
Maka dalam makalah singkat ini kita coba mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh islam kepada tokoh besar kita Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang terzahlimi dengan mencoba membantah dan membedahnya dengan tetap terus memohon kepada Allah kemudahan dan petunjuknya.
Diantara syubhat yang dilontarkan dengan zhalim oleh para musuh Islam adalah;
Syubhat 1
Mereka(2) menyatakan: “Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya.”. (3)
Juga menyatakan : “Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan Anshor, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.”. (4)
Bantahan
Memang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terkenal dengan "kunyah" (julukannya) melebihi namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Adapun sejarah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah memang tidak dikenal, namun, demikian itu satu kewajaran, karena bangsa Arab -seluruhnya- tenggelam dalam ke-jahiliyah-an dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja.
Mereka tidak peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah mereka.
Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya, jadilah setiap individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka, serta mereka memiliki murid yang mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka.
Para ahli sejarah sudah memahami, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukan merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kun-yah (julukan)nya, sebagaimana terjadi atas khalifah pertama, beliau dikenal dengan gelarnya Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka merupakan tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Belum pernah kita dengar pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas.(5)
Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap julukan Abu Hurairah dan ketenaran beliau dengannya melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para ulama Islam telah me-rajih-kan nama beliau di zaman Jahiliyah adalah Abdus Syamsi dan setelah masuk Islam adalah Abdurrahman. Kemudian tuduhan beliau tidak jelas asal usulnya juga satu kebodohan dari mereka (para penuduh ini) karena asal-usul dan nasabnya cukup terhormat.(6)
Apakah ihwal Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dalam hal ini berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi lainnya? Lalu, mengapa ketiak-jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisi beliau dalam Islam? Apakah ada dalam Kitabullah, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya serta meragukan terhadap semua riwayatnya dari hadits-hadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar.(7)
Syubhat 2
Mereka menyatakan: “Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulqaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai Muadzdzin“.(8)
Bantahan:
Pernyataan ini tidak benar, sebab Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sekitar 4 tahun lebih.(9) Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dalam pernyataannya,
لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ
“Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun.”. (10)
Sedang kepergiannya menemani Al ‘Alaa’ Al Hadhrami tidak menunjukkan beliau menetap di sana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang menyatakan beliau ber-mulazamah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun di atas. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar walaupun tidak seluruhnya (11) dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash Shidiq Radhiallahu’anhu tahun 9 H.
Syubhat 3
Mereka menyatakan : “Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada Nabi seperti yang lain, tapi untuk mendapatkan makanan. Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” (12)
Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Alllah untuk mengisi perutku.” Atau Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” kemudian menyatakan lagi : “Ia juga punya hobi makan, karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadist lesung’ (lesung -al-mihras- , alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”) (13)
Bantahan:
Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan mereka terhadap Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya dalam kata lain melakukannya hanya karena sedikit dunia yang rendah, memang diriwayatkan secara shahih dengan lafadz:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshar disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.” (14)
Pernyataan Beliau di lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” pengertiannya, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji. (15) Adapun pernyataan beliau: “selama perutku berisi“, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga beliau tidak pernah tidak hadir di sisi Nabi. (16)
Kalau demikian tuduhan atas beliau sangat dipaksakan sekali dan tidak ilmiah. Hal itu karena Abu Hurairah tidak sekedar menceritakan persahabatannya yang sama-sama dimiliki sahabat lainnya semata. Namun, Beliau dalam pernyatannya tersebut ingin juga menceritakan keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaan Beliau bersama Rasulullah yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.
Keistimewaan tersebut beliau jelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi“, lalu menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan akhlak yang luar biasa.(17)
Tuduhan Abu Hurairah banyak makan dan bersemangat mendapatkan makanan serta bersahabat dengan Nabi hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam atau kecintaan pada beliau merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan orang yang hasad atau orang yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata?
Apakah Abu Hurairah di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang di sana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dari beliau. Hingga sampai sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?
Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafadz Shuhbah (bersahabat), namun yang benar, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dengan lafadz ‘Alzamu‘ (selalu menemani dan mengikuti).
Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kta “mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu).
Sehingga pernyataan beliau ini jelas-jelas untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau terhadap hadits-hadits Nabi seperti telah jelas dari alur pernyataannya. Demikian juga para penuduh ini disamping telah melakukan tahrif (penyimpangan) di atas juga memotong pernyataan beliau yang merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan.
Padahal semua itu, beliau katakan untuk menjelaskan sebab pendorong menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Demikianlah, tahrif (menyimpangkan sesuatu dari lafadz atau makna sebenarnya) sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dan penyembah hawa nafsu.
Lalu, darimana mereka mengklaim diri mereka mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah yang telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah? (18)
Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna lafadz (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (’عَلَى مِلء بَطْنِيْ) bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan penipuan lain, sekaligus sebagai bukti mereka selalu mencari jalan untuk menjatuhkan pribadi Abu Hurairah.
Pernyataan Abu Hurairah ini telah difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah (ala mil’i bathni): “Maknanya aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi makanan bagiku. sedangkan maksud pernyataan beliau ‘melayani‘, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah”.(19)
Sehingga jelaslah kebatilan tuduhan ini.
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
1) Semua tuduhan dan kecaman dalam pembahasan ini diambil dengan huruf per huruf dari buku “Saqifah, Awal Perselisihan Umat” karya seorang syiah dari Lampung yang bernama O. Hashem, cetakan ketiga tahun 1415 H -1994 M, terbitan penerbit Al Muntazhar, Jakarta barat.
Buku ini sebenarnya hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari kalangan orang syiah dan musuh-musuh Islam. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan kelicikan dalam mengolah kata sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar pengetahuan islam yang baik.
Kemudian jawabannya kami ambilkan dari kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Al Syuruq, Bairut, As Sunnah Qabla Al Tadwin karya Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib, cetakan kelima tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan kitab-kitab hadits serta beberapa referinsi lainnya.
2) Kami gunakan kata ‘mereka‘ disini karena tuduhan ini juga dilontarkan orang lain, baik di Indonesia atau di negara lain agar lebih bersifat umum. Karena penulis buku Saqifah hanya mengekor dan menukil dari orang lain, diantaranya Abu Rayah (dimesir) atau orang-orang syi’ah lainnya.
3) Saqifah, op.cit hlm 12
4) ibid hlm 20.
5) Dikutip dari kitab Difa’un ‘An Abu Hurairah dari pernyataan Al Ustadz Al Khathib dalam kitab Abu Hurairah Rawiyatul ISlam, halaman 213.
6) Insya Allah akan disajikan pembahasan Abu Hurairah Pribadi menganggumkan. (- ibnu abdillah)
7) Dikutip dari pernyataan Dr. As Siba’i dalam Sunnah Wa Makanatuha, halaman 307.
8) Saqifah op.cit hlm 11
9) Siar A’lami An Nubala, karya Al Dzahabiy, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Maktabah Al Risalah, Bairut hlm II/426.
10) Musnad Ahmad,no. 16793; Abu Dawud, dalam Sunannya, kitab Al Thoharoh, Bab Al Nahyu ‘an Dzalika no 73 hlm I/19; Al Nasa’i, dalam sunannya kitan Al Ziinaah bab Al Akhdzi ‘An Al Syaarib no. 4968 hlm I/130 dengan sanad-sanad yang shahih.
11) Lihat Riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Difa’ ‘An Abi Hurairoh karya Abdul Mun’im Al’Izzi. Hlm 25-26.
12) Saqifah op.cit 12
13) ibid hlm 14.
14) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
15) Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, tanpa tahun, Maktabah Al Salafiyah, hlm V/28.
16) Fathul Bari, op.cit IV/288.
17) Dari pernyataan Al Mualimi rahimahullah dalam Al Anwaar Al Kaasyifah, halaman 147.
18) Lihat hadits - hadits tentang pujian Rasulullah kepadanya. (Insya Allah disajikan bersama Artikel Abu Hurairah pribadi yang mengagumkan - ibnu abdillah)
19) Syarh An Nawawi terhadap Shahih Muslim, tashhih Syeikh Kholil Ma’muun Syeihaa, cetakan ketiga tahun 1317 H, Dar Al Ma’rifah, Baerut hlm XV/270.
Akhirnya dengan cara ini mereka ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Biarlah mereka mampus dengan kemarahan dan kedengkiannya.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan slogan yang tampak luarnya rahmah dan ilmiah namun di dalamnya menyimpan dendam kesumat dan penipuan besar serta kepandiran.
Slogan studi kritis hadits, studi ilmiyah dan kebebasan berpendapat, ini semua hanyalah semu dan fatamorgana, tujuannya hanya satu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari racun yang mereka tebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara para sahabat yang mereka serang adalah perawi hadits Nabi terbanyak Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan melemparkan tuduhan ngawur dan kritikan tanpa dasar, namun dibungkus dengan kata-kata indah dan ilmiyah sehingga banyak menipu kaum muslimin yang belum mengenal aqidah dan syariat islam.
Maka dalam makalah singkat ini kita coba mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh islam kepada tokoh besar kita Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang terzahlimi dengan mencoba membantah dan membedahnya dengan tetap terus memohon kepada Allah kemudahan dan petunjuknya.
Diantara syubhat yang dilontarkan dengan zhalim oleh para musuh Islam adalah;
Syubhat 1
Mereka(2) menyatakan: “Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya.”. (3)
Juga menyatakan : “Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan Anshor, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.”. (4)
Bantahan
Memang Abu Hurairah Radhiallahu’anhu terkenal dengan "kunyah" (julukannya) melebihi namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Adapun sejarah Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah memang tidak dikenal, namun, demikian itu satu kewajaran, karena bangsa Arab -seluruhnya- tenggelam dalam ke-jahiliyah-an dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja.
Mereka tidak peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah mereka.
Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya, jadilah setiap individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka, serta mereka memiliki murid yang mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka.
Para ahli sejarah sudah memahami, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukan merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kun-yah (julukan)nya, sebagaimana terjadi atas khalifah pertama, beliau dikenal dengan gelarnya Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka merupakan tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Belum pernah kita dengar pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas.(5)
Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap julukan Abu Hurairah dan ketenaran beliau dengannya melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para ulama Islam telah me-rajih-kan nama beliau di zaman Jahiliyah adalah Abdus Syamsi dan setelah masuk Islam adalah Abdurrahman. Kemudian tuduhan beliau tidak jelas asal usulnya juga satu kebodohan dari mereka (para penuduh ini) karena asal-usul dan nasabnya cukup terhormat.(6)
Apakah ihwal Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dalam hal ini berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi lainnya? Lalu, mengapa ketiak-jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu pada masa jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisi beliau dalam Islam? Apakah ada dalam Kitabullah, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya serta meragukan terhadap semua riwayatnya dari hadits-hadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar.(7)
Syubhat 2
Mereka menyatakan: “Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulqaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai Muadzdzin“.(8)
Bantahan:
Pernyataan ini tidak benar, sebab Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sekitar 4 tahun lebih.(9) Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dalam pernyataannya,
لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ
“Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun.”. (10)
Sedang kepergiannya menemani Al ‘Alaa’ Al Hadhrami tidak menunjukkan beliau menetap di sana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang menyatakan beliau ber-mulazamah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selama empat tahun di atas. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar walaupun tidak seluruhnya (11) dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash Shidiq Radhiallahu’anhu tahun 9 H.
Syubhat 3
Mereka menyatakan : “Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada Nabi seperti yang lain, tapi untuk mendapatkan makanan. Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” (12)
Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Alllah untuk mengisi perutku.” Atau Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” kemudian menyatakan lagi : “Ia juga punya hobi makan, karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadist lesung’ (lesung -al-mihras- , alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”) (13)
Bantahan:
Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan mereka terhadap Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya dalam kata lain melakukannya hanya karena sedikit dunia yang rendah, memang diriwayatkan secara shahih dengan lafadz:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshar disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.” (14)
Pernyataan Beliau di lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” pengertiannya, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji. (15) Adapun pernyataan beliau: “selama perutku berisi“, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga beliau tidak pernah tidak hadir di sisi Nabi. (16)
Kalau demikian tuduhan atas beliau sangat dipaksakan sekali dan tidak ilmiah. Hal itu karena Abu Hurairah tidak sekedar menceritakan persahabatannya yang sama-sama dimiliki sahabat lainnya semata. Namun, Beliau dalam pernyatannya tersebut ingin juga menceritakan keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaan Beliau bersama Rasulullah yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.
Keistimewaan tersebut beliau jelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi“, lalu menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan akhlak yang luar biasa.(17)
Tuduhan Abu Hurairah banyak makan dan bersemangat mendapatkan makanan serta bersahabat dengan Nabi hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam atau kecintaan pada beliau merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan orang yang hasad atau orang yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata?
Apakah Abu Hurairah di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang di sana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dari beliau. Hingga sampai sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?
Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafadz Shuhbah (bersahabat), namun yang benar, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dengan lafadz ‘Alzamu‘ (selalu menemani dan mengikuti).
Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kta “mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu).
Sehingga pernyataan beliau ini jelas-jelas untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau terhadap hadits-hadits Nabi seperti telah jelas dari alur pernyataannya. Demikian juga para penuduh ini disamping telah melakukan tahrif (penyimpangan) di atas juga memotong pernyataan beliau yang merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan.
Padahal semua itu, beliau katakan untuk menjelaskan sebab pendorong menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Demikianlah, tahrif (menyimpangkan sesuatu dari lafadz atau makna sebenarnya) sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dan penyembah hawa nafsu.
Lalu, darimana mereka mengklaim diri mereka mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah yang telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah? (18)
Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna lafadz (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu (’عَلَى مِلء بَطْنِيْ) bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan penipuan lain, sekaligus sebagai bukti mereka selalu mencari jalan untuk menjatuhkan pribadi Abu Hurairah.
Pernyataan Abu Hurairah ini telah difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah (ala mil’i bathni): “Maknanya aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi makanan bagiku. sedangkan maksud pernyataan beliau ‘melayani‘, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah”.(19)
Sehingga jelaslah kebatilan tuduhan ini.
(bersambung)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
_______________
1) Semua tuduhan dan kecaman dalam pembahasan ini diambil dengan huruf per huruf dari buku “Saqifah, Awal Perselisihan Umat” karya seorang syiah dari Lampung yang bernama O. Hashem, cetakan ketiga tahun 1415 H -1994 M, terbitan penerbit Al Muntazhar, Jakarta barat.
Buku ini sebenarnya hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari kalangan orang syiah dan musuh-musuh Islam. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan kelicikan dalam mengolah kata sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar pengetahuan islam yang baik.
Kemudian jawabannya kami ambilkan dari kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Al Syuruq, Bairut, As Sunnah Qabla Al Tadwin karya Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib, cetakan kelima tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan kitab-kitab hadits serta beberapa referinsi lainnya.
2) Kami gunakan kata ‘mereka‘ disini karena tuduhan ini juga dilontarkan orang lain, baik di Indonesia atau di negara lain agar lebih bersifat umum. Karena penulis buku Saqifah hanya mengekor dan menukil dari orang lain, diantaranya Abu Rayah (dimesir) atau orang-orang syi’ah lainnya.
3) Saqifah, op.cit hlm 12
4) ibid hlm 20.
5) Dikutip dari kitab Difa’un ‘An Abu Hurairah dari pernyataan Al Ustadz Al Khathib dalam kitab Abu Hurairah Rawiyatul ISlam, halaman 213.
6) Insya Allah akan disajikan pembahasan Abu Hurairah Pribadi menganggumkan. (- ibnu abdillah)
7) Dikutip dari pernyataan Dr. As Siba’i dalam Sunnah Wa Makanatuha, halaman 307.
8) Saqifah op.cit hlm 11
9) Siar A’lami An Nubala, karya Al Dzahabiy, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Maktabah Al Risalah, Bairut hlm II/426.
10) Musnad Ahmad,no. 16793; Abu Dawud, dalam Sunannya, kitab Al Thoharoh, Bab Al Nahyu ‘an Dzalika no 73 hlm I/19; Al Nasa’i, dalam sunannya kitan Al Ziinaah bab Al Akhdzi ‘An Al Syaarib no. 4968 hlm I/130 dengan sanad-sanad yang shahih.
11) Lihat Riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Difa’ ‘An Abi Hurairoh karya Abdul Mun’im Al’Izzi. Hlm 25-26.
12) Saqifah op.cit 12
13) ibid hlm 14.
14) Al Bukhari,dalam Shahihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 – III/135. dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
15) Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, tanpa tahun, Maktabah Al Salafiyah, hlm V/28.
16) Fathul Bari, op.cit IV/288.
17) Dari pernyataan Al Mualimi rahimahullah dalam Al Anwaar Al Kaasyifah, halaman 147.
18) Lihat hadits - hadits tentang pujian Rasulullah kepadanya. (Insya Allah disajikan bersama Artikel Abu Hurairah pribadi yang mengagumkan - ibnu abdillah)
19) Syarh An Nawawi terhadap Shahih Muslim, tashhih Syeikh Kholil Ma’muun Syeihaa, cetakan ketiga tahun 1317 H, Dar Al Ma’rifah, Baerut hlm XV/270.
Rabu, 07 Oktober 2009
Utamakan Dawah, Dahulukan Kuliah, Berprestasi!!
Bagi kalangan aktivis dakwah LDK FKMKI UNHAS (Lembaga Dakwah Kampus Forum Komunikasi Mushallah dan Kerohanian Islam Universitas Hasanuddin) rangkaian kata-kata di atas bukanlah hal asing lagi. Yup, sangat jelas termaktub dalam AD/ART FKMKI yang menyebutkannya sebagai slogan organisasi ini. Namun yakin bagiku, masih banyak dari teman sekalian yang masih belum faham maksud dan nilai-nilai yang tersirat dari konstelasi kata-kata di atas ini.
Insan tarbiyah pasti telah paham atau paling tidak pernah mengkaji salah satu pemahaman dasar kita dalam mengkaji Islam. Bahwa islam itu adalah agama yang syumul (menyeluruh). Bahwa ternyata untuk memahami Islam kita tidak boleh melihatanya secara parsial (sebagian saja), tapi dari sisi dimana Islam itu mencakup segala sisi dinamika kehidupan. Bahwa Islam itu adalah ajaran tauhid, menyucikan hati, kelompok pemikir, grup olahraga, pasukan militer, berpolitik, kesenian dll. Dan menurut penulis, untuk memahami Islam secara benar kita harus memakai cara pandang bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh dan universal. Semua aspek-aspek kehidupan itu terintegral dalam ajaran Islam. Sehingga jika ada seseorang memahami Islam secara setengah-setengah saja, bisa dipastikan dia akan menyimpang dari pemahaman yang benar tentang agama Allah ini. Contohnya, jika hanya berpikir bahwa islam itu hanya sholat dan ngaji saja, maka kehidupannya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak akan bermanfaat bagi orang banyak. Bahkan akan timbul fanitisme pada pemikirannya sendiri dan begitu mudah mengkafirkan muslim yang lain. Naudzubillah..
Kita juga harus paham, dalam memperjuangkan dakwah Islam, tak boleh terfokus hanya pada satu sisi kehidupan saja. Jangan hanya fokus pada usaha-usaha pada penegakkan pemerintahan Islam saja, atau hanya pada tarbiyah saja, atau malah hanya politik saja. Karena Islam yang berat sebelah (tidak menyeluruh) bisa jadi hanya akan tumbuh sebagai simbol saja, dan kehilangan izzah.
Itulah yang dipahami oleh ikwah FKMKI, bahwa dalam berdakwah dikampus jangan kemudian kita memilah-milahkan mana yang harus kita kerjakan. Mana yang lebih penting antar organisasi, dakwah, atau akademik. Kami memahami bahwa semua aspek kehidupan kemahasiswaan adalah sesuatu yang terintegrasi, tidak terpisahkan. Bahwa mahasiswa itu adalah seorang yang sholeh akademisi organisatoris. Saya jadi teringat kata-kata Ust. Masturi, Lc “Seorang mahasiswa itu baru dikatakan mahasiswa jika dia memiliki akademik yang bagus dan kemampuan organisasi yang mantap”..
Teman-teman sekalian, slogan FKMKI “Utamakan Dakwah, Dahulukan Kuliah, Berprestasi!” jika ditelaah secara EYD akan menghasilkan pemaknaan yang sangat rancuh. Pertanyaan yang sering muncul “Loh, jadi mana yang lebih penting dakwah atau kuliah nih??”. Namun kemudian jika kita melihatnya sesuai dengan cara pandang bahwa Islam itu Syumul (Menyeluruh) maka sangat jelas sekali. FKMKI mengajak kita untuk memahami dunia kampus ini secara menyeluruh, tidak parsial. Bahwa dakwah tidak terpisahkan dengan kuliah, kuliah tidak terpisahkan dari organisasi, dan organisasi tidak boleh terpisahkan dengan dakwah. Subhanallah…
By Sekretaris Jendral LDK FKMKI UNHAS 2008-2009
Insan tarbiyah pasti telah paham atau paling tidak pernah mengkaji salah satu pemahaman dasar kita dalam mengkaji Islam. Bahwa islam itu adalah agama yang syumul (menyeluruh). Bahwa ternyata untuk memahami Islam kita tidak boleh melihatanya secara parsial (sebagian saja), tapi dari sisi dimana Islam itu mencakup segala sisi dinamika kehidupan. Bahwa Islam itu adalah ajaran tauhid, menyucikan hati, kelompok pemikir, grup olahraga, pasukan militer, berpolitik, kesenian dll. Dan menurut penulis, untuk memahami Islam secara benar kita harus memakai cara pandang bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh dan universal. Semua aspek-aspek kehidupan itu terintegral dalam ajaran Islam. Sehingga jika ada seseorang memahami Islam secara setengah-setengah saja, bisa dipastikan dia akan menyimpang dari pemahaman yang benar tentang agama Allah ini. Contohnya, jika hanya berpikir bahwa islam itu hanya sholat dan ngaji saja, maka kehidupannya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak akan bermanfaat bagi orang banyak. Bahkan akan timbul fanitisme pada pemikirannya sendiri dan begitu mudah mengkafirkan muslim yang lain. Naudzubillah..
Kita juga harus paham, dalam memperjuangkan dakwah Islam, tak boleh terfokus hanya pada satu sisi kehidupan saja. Jangan hanya fokus pada usaha-usaha pada penegakkan pemerintahan Islam saja, atau hanya pada tarbiyah saja, atau malah hanya politik saja. Karena Islam yang berat sebelah (tidak menyeluruh) bisa jadi hanya akan tumbuh sebagai simbol saja, dan kehilangan izzah.
Itulah yang dipahami oleh ikwah FKMKI, bahwa dalam berdakwah dikampus jangan kemudian kita memilah-milahkan mana yang harus kita kerjakan. Mana yang lebih penting antar organisasi, dakwah, atau akademik. Kami memahami bahwa semua aspek kehidupan kemahasiswaan adalah sesuatu yang terintegrasi, tidak terpisahkan. Bahwa mahasiswa itu adalah seorang yang sholeh akademisi organisatoris. Saya jadi teringat kata-kata Ust. Masturi, Lc “Seorang mahasiswa itu baru dikatakan mahasiswa jika dia memiliki akademik yang bagus dan kemampuan organisasi yang mantap”..
Teman-teman sekalian, slogan FKMKI “Utamakan Dakwah, Dahulukan Kuliah, Berprestasi!” jika ditelaah secara EYD akan menghasilkan pemaknaan yang sangat rancuh. Pertanyaan yang sering muncul “Loh, jadi mana yang lebih penting dakwah atau kuliah nih??”. Namun kemudian jika kita melihatnya sesuai dengan cara pandang bahwa Islam itu Syumul (Menyeluruh) maka sangat jelas sekali. FKMKI mengajak kita untuk memahami dunia kampus ini secara menyeluruh, tidak parsial. Bahwa dakwah tidak terpisahkan dengan kuliah, kuliah tidak terpisahkan dari organisasi, dan organisasi tidak boleh terpisahkan dengan dakwah. Subhanallah…
By Sekretaris Jendral LDK FKMKI UNHAS 2008-2009
Sabtu, 12 September 2009
Inilah Skenario Runtuhnya WTC
Bohong Besar Amerika
Hasil investigative reporting -nya itu kemudian ia tuangkan ke dalam sebuah buku berjudul 9/11 The Big Lie America , diterjemahkan penerbit Jalan Lurus dengan judul, Bohong Besar Amerika , Bandung, 2003.
Inilah cerita versi Thierry Meyssan: Kedua pesawat itu diidentifikasikan oleh FBI sebagai Boeing 767. Pesawat itu menghantam tepat pada sasarannya. Peristiwa ini sangat musykil. Dipandang dari ketinggian yang jauh, sebuah kota akan tampak seperti selembar peta dan semua acuan visual yang lazim menjadi hilang. Untuk menabrak menara, pesawat perlu dipraposisikan pada ketinggian sangat rendah. 'Karya' itu merupakan prestasi luar biasa bahkan pilot yang sangat berpengalaman pun sulit melakukannya. Konon yang melakukannya adalah pilot yang baru lulus latihan.
Thierry Meyssan
Setelah ditabrak, Menara Kembar runtuh sendiri. Sebuah komisi penyidik menyimpulkan bahwa terbakarnya bahan bakar pesawat menimbulkan panas yang melelehkan struktur logam utama kedua bangunan. Teori ini disangkal keras oleh Assosiasi Pemadam Kebakaran New York dan Journal Profesional, Fire Engineering bahwa struktur bangunan tersebut tahan api. Para petugas pemadam kebakaran malah mendengar ledakan di lantai dasar bangunan. Pakar terkenal dari Institut Pertambangan dan teknologi, Van Romero pun mengamininya. ''Keruntuhan itu diakibatkan oleh bahan peledak,'' katanya.
Pada hari yang sama, Departemen Pertahanan mengeluarkan pengumuman singkat ''Pentagon diserang teroris pada pukul 09.38,'' kata Menteri Pertahanan Donald H. Rumsfeld. Pers AS pun heboh. Namun, ketika mau meliput peristiwa itu, para wartawan diusir dari tempat kejadian dengan alasan agar tidak menghalangi operasi penyelamatan. Toh, wartawan AP, Tom Horan, berhasil mendapatkan foto-foto ekslusive dari sebuah gedung dekat lokasi kejadian.
Kepala Staf Gabungan, Jenderal Richard Myers, mengindikasikan bahwa pesawat terbang bunuh diri itu adalah Boeing 757-200. Pukul 08.55 waktu setempat, Boeing itu turun ke ketinggian 29.000 kaki. Dua pesawat tempur F-16 segera melesat untuk mencegat Boeing itu, tapi katanya kehilangan jejak.
Menurut Meyssan ini tak masuk akal. ''Bagaimana percaya sebuah pesawat jet berbadan tambun bisa mengecoh dua pesawat tempur yang memburunya?'' Seandainya si Boeing berhasil mengatasi rintangan pertama pun, dengan mudah akan ditembak jatuh saat mendekati Pentagon. Pasalnya, di pangkalan udara Saint Andrew di sekitar Pentagon, berpangkalan Wing Tempur 113 Angkatan Udara dan Wing Tempur serang 321 Angkatan Laut. Masing-masing dilengkapi pesawat tempur F-16 dan F/A-18. Di atap gedung itu pun dipasang penangkis serangan udara dan rudal-rudal supercanggih. Mereka tentu tak akan pernah membiarkan sang Boeing menghampiri Pentagon.
Pesawat raksasa itu tiba-tiba mendekati tanah, seperti akan mendarat, langsung menabrak Gedung Pentagon. Anehnya tanpa merusak tiang lampu dan bangunan-bangunan di sekitarnya. Moncong pesawat masuk ke pintu gerbang yang tengah direnovasi. Keterangan resmi ini, menurut Meyssan, meragukan. Tabrakan keras itu pastilah menimbulkan kebakaran besar, lalu pesawat menjadi onggokan gosong.
''Jika merujuk pada foto dari AP, Anda akan melihat tidak dijumpai bangkai pesawat di sana. Bahkan, sebuah gir roda pesawat pun tak tampak. Padahal pemotretan itu dilakukan di menit-menit pertama ketika mobil pemadam kebakaran tiba dan petugas belum menyebar,'' tulis Meyssan dalam bukunya itu. Diduga suara berdesing dan runtuhnya atap salah satu pintu gerbang Pentagon itu disebabkan oleh rudal tipe AGM. Jenis rudal ini menyerupai sebuah pesawat terbang sipil kecil, memang. Tapi, bukan pesawat terbang. Demikian Meyssan.
Lepas dari kontroversi itu, Presiden AS, George W Bush, segera mengumumkan bahwa serangan itu dilakukan oleh teroris Muslim, pimpinan Usamah bin Ladin. Maka, tanpa memerlukan penyelidikan seksama, dengan alasan memburu pimpinan Alqaidah itu, Bush memerintahkan penyerbuan ke negara Muslim Afghanistan. Gilirannya, Irak diduduki dengan alasan memiliki senjata pemusnah massal (yang kemudian ternyata tidak terbukti).
Kenapa Bush menuding Muslim? Rupanya Bush mendapat bisikan dari Samuel Philip Huntington. Pandangan negatif penasihat gedung putih terhadap Islam ini tertuang dalam sebuah artikel yang dimuat di media Foreign Affairs yang terbit pada musim panas 1993 dengan judul ''The clash of Civilization''. Artikel yang memancing polemik ini kemudian diterbitkan dalam bentuk sebuah buku pada 1996. Menurut Huntington, setelah Uni Sovyet (ideologi komunis) runtuh, musuh berikutnya adalah Islam. Sudut pandang negatif terhadap Islam inilah yang rupanya diyakini Presiden Bush. Bush lalu mendeklarasikan perang atas nama membasmi teror.
Sejak dulu Indonesia negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini adalah negeri yang aman. Bangsa yang yakin bahwa agama adalah rahmat bagi sekalian alam. Tapi, sejak deklarasi Bush itu, tiba-tiba bom-bom canggih berledakan merobek ketenangan negeri 'jamrud Khatulistiwa' itu dan memakan banyak korban orang tak berdosa. Lalu pesantren dituding biang teror. Orang-orang berjenggot, berpakaian gamis dengan celana menggantung dicurigai. Ujung-ujungnya, kegiatan dakwah harus diawasi. Mungkinkah malapetaka ini bagian dari skenario global untuk menyudutkan Islam? (dakta)
9/11 Conspiracy
Rabu, 26 Agustus 2009
Fiqih Jihad Karya Yusuf Al-Qaradhawi (Sebuah Resensi Buku) IV
Pendekatan Al-Qardhawi dalam Memperkenalkan Fiqih Jihad
Yusuf Qardhawi
Yusuf Qardhawi
Kedudukan beliau, ulama, Al-Qardhawi, berbicara tentang pendekatannya dalam bukunya yang – sangat diharapkan – nyaman dan bermanfaat, mengatakan bahwa hal itu terletak pada enam pilar: yaitu, Al-Qur’anul karim, Sunnah yang suci, dan kekayaan Fiqih Islam. Selain itu, beliau mengatakan bahwa pendekatannya juga dibangun untuk membuat perbandingan antara undang-undang Ilahiyah dan sistem (hukum) positif, dengan memperhatikan realitas kontemporer di mana manusia hidup. Oleh karena itu, beliau juga mengadopsi pendekatan yang moderat sebagaimana yang selalu dia lakukan di setiap bukunya, penelitiannya, dan fatwanya. Dalam hal ini, Syeikh mengatakan,
Pendekatan yang saya adopsi dalam menulis buku ini tergantung pada sekelompok elemen:
Pertama, terutama bergantung pada teks-teks dari Al-Qur’anul karim, karena ini merupakan sumber yang pertama dan terpenting dalam Islam, di mana ini adalah kepastian dan tidak dapat dibantah. Hal ini telah dibuktikan secara pasti untuk menjadi (sumber yang) otentik/asli melalui sebuah mata rantai yang handal (tidak diragukan) dan tanpa ada gangguan, dihafal dalam hati, dilantunkan dengan ruh, dan ditulis dalam mushaf (salinan Al-Qur’an). Di sana tidak ada pertentangan tentang hal ini di kalangan para ulama.
Dari Al-Qur’an, kita bisa mendapatkan asli atau tidaknya (otentikasi/keaslian) sumber-sumber lain, termasuk sunnah Nabi itu sendiri. Oleh karena itu, keaslian dari Sunnah didirikan berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, kita memahami Al-Qur’an dalam terangnya gaya ekspresi, dengan bahasa literal dan metaforanya, mempertimbangkan urutan dan konteks, menghindari (penafsiran) yang dibuat-buat dan sembarangan, dan menyesuaikan teks-teks, yakin bahwa ayat-ayat dalam kitab yang mulia ini saling menegaskan kebenaran antar satu sama lain, dan saling menjelaskan satu sama lain.
Kedua, gambaran pada narasi-narasi Sunnah yang terjamin yang benar-benar asli disampaikan dari Nabi SAW. Hal ini termasuk apa-apa yang beliau katakan, perbuatannya, dan persetujuannya yang telah disampaikan dalam hadits-hadits dengan mata rantai narasi yang dapat dipercaya (shahih), tanpa ada missing link, keganjilan, dan faktor-faktor yang mengacaukan.
Selain itu, hadits-hadits tersebut tidak boleh kontradiksi dengan yang lebih kuat dan lebih otentik: ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits lain, atau apa-apa yang telah didirikan atas dasar pengetahuan dan alasan. Jadi, mereka harus ilustratif terhadap apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, dan harus berjalan sesuai dengan Kitab dan neraca (keadilan) yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa.
Ketiga, penggunaan dari perbendaharaan fiqih Islam dan gambaran pada sumber daya nya yang melimpah, dengan tanpa bias dalam mendukung fiqih mazhab tertentu melawan mazhab yang lain, atau secara eksklusif berpegang teguh pada satu imam seraya mengabaikan imam yang lainnya. Sebaliknya, kita harus mempertimbangkan warisan yang besar ini untuk dimiliki oleh semua peneliti, sehingga mereka dapat menyelidiki hingga ke dalamnya, mengerti rahasia-rahasianya, dan memanfaatkan berbagai simpanan yang tersembunyi di dalamnya.
Ketika melakukan hal tersebut, seorang peneliti harus membandingkan berbagai sudut pandang yang berbeda, tanpa mengambil posisi fanatik dalam mendukung pendapat tertentu, atau secara permanen mengikuti mazhab tertentu. Kita dapat mengambil pendapat Abu Hanifah dalam kasus tertentu, pendapat Malik pada kasus lainnya, dan Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Dawud dalam kasus lainnya, dan seterusnya. Bahkan kita boleh – dalam beberapa hal – merujuk pada mazhab non-Sunni, seperti Zaydi, Ja’fari, atau mazhab Ibadi, jika mereka memberikan solusi yang dibutuhkan. Selain itu, kita boleh mengambil pendekatan mazhab yang sudah usang, seperti Al Awza’i, Ath-Thawri, atau At-Tabari.
Keempat, tidak cukup bagi kita dengan hanya membandingkan mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat dalam fiqih Islam serta institusi-institusinya. Sebaliknya, kita juga boleh membandingkan fiqih dari Syariat Islam secara keseluruhan dengan hukum positif Barat. Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk mengilustrasikan tingkat keaslian dari Syariat, ketegasan prinsip-prinsipnya, ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum lain, dan perpaduan Syariat antara idealisme dan realisme, serta antara hukum Ilahi dan manusia.
Kelima, menghubungkan fiqih kepada realitas kontemporer Ummat dan seluruh dunia. Hal ini karena fiqih dibuat untuk memecahkan berbagai masalah dari individu muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, negara muslim, dan ummat muslim melalui perundang-undangan yang toleran dari Syariah.
Dengan demikian, fiqih ini mencari penyembuhan-penyembuhan atau pengobatan-pengobatan terhadap berbagai penyakit muslim (dengan menggali sumber) dari dalam – bukan dari luar – khazanah Syariah yang mulia ini. Hal ini juga menjawab setiap pertanyaan yang diangkat oleh individu atau masyarakat tentang agama dan kehidupan. Fiqih juga menuntun perjalanan peradaban Ummat dalam cahaya hukum syariah yang mulia.
Keenam, seperti halnya pada semua buku-buku dan penelitian-penelitian kami, dalam buku ini kami mengambil pendekatan yang Allah SWT hidayahkan kepada kami untuk memilih dan mendahulukan dakwah, tarbiyah, iftaa’, penelitian, reformasi dan renovasi, yaitu pendekatan moderat dan kelembutan.
Di antara aspek-aspek pendekatan fiqih ini, pemahaman dan ijtihad, adalah bahwa kita harus memperbaharui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan perkembangan zaman kita sebagaimana imam-imam terdahulu kita melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan zamannya. Kita harus menggunakan sumber-sumber pengetahuan dari apa-apa yang mana pandang-pandangan mereka berasal darinya, memahami sebagian teks dalam kerangka tujuan secara keseluruhan, dan merunut masalah-masalah ambigu kembali kepada masalah-masalah yang sudah jelas, serta merunut dari hal yang khusus ke umum.
Selain itu, kita harus ketat ketika hal ini mengarah pada hal-hal mendasar, dan membuat sesuatu lebih mudah ketika hal ini mengarah pada masalah-masalah sekunder, memadukan antara ketetapan Syariat dan variabel-variabel (faktor-faktor) zaman, dan menghubungkan teks asli dengan kenyataan yang masuk akal.
Hal ini juga mengharuskan kita untuk menghindari sikap memihak terhadap sebuah pendapat lama atau meninggi-ninggikan pemikiran baru; untuk mematuhi prinsip bahwa tujuan-tujuan itu tidak berubah, namun metode-metode bisa fleksibel; dan untuk mendapatkan manfaat dari apa saja yang bermanfaat dari pandangan-pandangan lama sebagaimana kita juga menyambut setiap pemikiran baru yang berguna.
Sebagai tambahan, kita harus mencari inspirasi dari masa lalu, hidup pada saat ini, dan melihat ke masa depan, menggali hikmah yang muncul dalam setiap bahtera, dan mengukur berbagai prestasi dari pihak lain terhadap nilai-nilai yang kita miliki, dan dengan demikian, menerima apa-apa yang cocok untuk kita dan mengabaikan yang tidak bermanfaat untuk kita, dan seterusnya.
Kemasyhuran beliau, ulama besar, Syeikh Al-Qardhawi telah membagi buku “Fiqih of Jihad” ke dalam sebuah pendahuluan, sembilan BAB, dan sebuah kesimpulan. Jadi, Insya Allah, kita akan mendapatkan tambahan resensi terhadap masalah-masalah lain yang diangkat oleh Imam dalam setiap bagian pada studinya ini. Kita memohon kepada Allah SWT untuk hidayah dan pertolongan-Nya
Sumber : Dakwatuna.com
Selesai.
Yusuf Qardhawi
Yusuf Qardhawi
Kedudukan beliau, ulama, Al-Qardhawi, berbicara tentang pendekatannya dalam bukunya yang – sangat diharapkan – nyaman dan bermanfaat, mengatakan bahwa hal itu terletak pada enam pilar: yaitu, Al-Qur’anul karim, Sunnah yang suci, dan kekayaan Fiqih Islam. Selain itu, beliau mengatakan bahwa pendekatannya juga dibangun untuk membuat perbandingan antara undang-undang Ilahiyah dan sistem (hukum) positif, dengan memperhatikan realitas kontemporer di mana manusia hidup. Oleh karena itu, beliau juga mengadopsi pendekatan yang moderat sebagaimana yang selalu dia lakukan di setiap bukunya, penelitiannya, dan fatwanya. Dalam hal ini, Syeikh mengatakan,
Pendekatan yang saya adopsi dalam menulis buku ini tergantung pada sekelompok elemen:
Pertama, terutama bergantung pada teks-teks dari Al-Qur’anul karim, karena ini merupakan sumber yang pertama dan terpenting dalam Islam, di mana ini adalah kepastian dan tidak dapat dibantah. Hal ini telah dibuktikan secara pasti untuk menjadi (sumber yang) otentik/asli melalui sebuah mata rantai yang handal (tidak diragukan) dan tanpa ada gangguan, dihafal dalam hati, dilantunkan dengan ruh, dan ditulis dalam mushaf (salinan Al-Qur’an). Di sana tidak ada pertentangan tentang hal ini di kalangan para ulama.
Dari Al-Qur’an, kita bisa mendapatkan asli atau tidaknya (otentikasi/keaslian) sumber-sumber lain, termasuk sunnah Nabi itu sendiri. Oleh karena itu, keaslian dari Sunnah didirikan berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, kita memahami Al-Qur’an dalam terangnya gaya ekspresi, dengan bahasa literal dan metaforanya, mempertimbangkan urutan dan konteks, menghindari (penafsiran) yang dibuat-buat dan sembarangan, dan menyesuaikan teks-teks, yakin bahwa ayat-ayat dalam kitab yang mulia ini saling menegaskan kebenaran antar satu sama lain, dan saling menjelaskan satu sama lain.
Kedua, gambaran pada narasi-narasi Sunnah yang terjamin yang benar-benar asli disampaikan dari Nabi SAW. Hal ini termasuk apa-apa yang beliau katakan, perbuatannya, dan persetujuannya yang telah disampaikan dalam hadits-hadits dengan mata rantai narasi yang dapat dipercaya (shahih), tanpa ada missing link, keganjilan, dan faktor-faktor yang mengacaukan.
Selain itu, hadits-hadits tersebut tidak boleh kontradiksi dengan yang lebih kuat dan lebih otentik: ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits lain, atau apa-apa yang telah didirikan atas dasar pengetahuan dan alasan. Jadi, mereka harus ilustratif terhadap apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, dan harus berjalan sesuai dengan Kitab dan neraca (keadilan) yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa.
Ketiga, penggunaan dari perbendaharaan fiqih Islam dan gambaran pada sumber daya nya yang melimpah, dengan tanpa bias dalam mendukung fiqih mazhab tertentu melawan mazhab yang lain, atau secara eksklusif berpegang teguh pada satu imam seraya mengabaikan imam yang lainnya. Sebaliknya, kita harus mempertimbangkan warisan yang besar ini untuk dimiliki oleh semua peneliti, sehingga mereka dapat menyelidiki hingga ke dalamnya, mengerti rahasia-rahasianya, dan memanfaatkan berbagai simpanan yang tersembunyi di dalamnya.
Ketika melakukan hal tersebut, seorang peneliti harus membandingkan berbagai sudut pandang yang berbeda, tanpa mengambil posisi fanatik dalam mendukung pendapat tertentu, atau secara permanen mengikuti mazhab tertentu. Kita dapat mengambil pendapat Abu Hanifah dalam kasus tertentu, pendapat Malik pada kasus lainnya, dan Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Dawud dalam kasus lainnya, dan seterusnya. Bahkan kita boleh – dalam beberapa hal – merujuk pada mazhab non-Sunni, seperti Zaydi, Ja’fari, atau mazhab Ibadi, jika mereka memberikan solusi yang dibutuhkan. Selain itu, kita boleh mengambil pendekatan mazhab yang sudah usang, seperti Al Awza’i, Ath-Thawri, atau At-Tabari.
Keempat, tidak cukup bagi kita dengan hanya membandingkan mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat dalam fiqih Islam serta institusi-institusinya. Sebaliknya, kita juga boleh membandingkan fiqih dari Syariat Islam secara keseluruhan dengan hukum positif Barat. Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk mengilustrasikan tingkat keaslian dari Syariat, ketegasan prinsip-prinsipnya, ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum lain, dan perpaduan Syariat antara idealisme dan realisme, serta antara hukum Ilahi dan manusia.
Kelima, menghubungkan fiqih kepada realitas kontemporer Ummat dan seluruh dunia. Hal ini karena fiqih dibuat untuk memecahkan berbagai masalah dari individu muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, negara muslim, dan ummat muslim melalui perundang-undangan yang toleran dari Syariah.
Dengan demikian, fiqih ini mencari penyembuhan-penyembuhan atau pengobatan-pengobatan terhadap berbagai penyakit muslim (dengan menggali sumber) dari dalam – bukan dari luar – khazanah Syariah yang mulia ini. Hal ini juga menjawab setiap pertanyaan yang diangkat oleh individu atau masyarakat tentang agama dan kehidupan. Fiqih juga menuntun perjalanan peradaban Ummat dalam cahaya hukum syariah yang mulia.
Keenam, seperti halnya pada semua buku-buku dan penelitian-penelitian kami, dalam buku ini kami mengambil pendekatan yang Allah SWT hidayahkan kepada kami untuk memilih dan mendahulukan dakwah, tarbiyah, iftaa’, penelitian, reformasi dan renovasi, yaitu pendekatan moderat dan kelembutan.
Di antara aspek-aspek pendekatan fiqih ini, pemahaman dan ijtihad, adalah bahwa kita harus memperbaharui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan perkembangan zaman kita sebagaimana imam-imam terdahulu kita melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan zamannya. Kita harus menggunakan sumber-sumber pengetahuan dari apa-apa yang mana pandang-pandangan mereka berasal darinya, memahami sebagian teks dalam kerangka tujuan secara keseluruhan, dan merunut masalah-masalah ambigu kembali kepada masalah-masalah yang sudah jelas, serta merunut dari hal yang khusus ke umum.
Selain itu, kita harus ketat ketika hal ini mengarah pada hal-hal mendasar, dan membuat sesuatu lebih mudah ketika hal ini mengarah pada masalah-masalah sekunder, memadukan antara ketetapan Syariat dan variabel-variabel (faktor-faktor) zaman, dan menghubungkan teks asli dengan kenyataan yang masuk akal.
Hal ini juga mengharuskan kita untuk menghindari sikap memihak terhadap sebuah pendapat lama atau meninggi-ninggikan pemikiran baru; untuk mematuhi prinsip bahwa tujuan-tujuan itu tidak berubah, namun metode-metode bisa fleksibel; dan untuk mendapatkan manfaat dari apa saja yang bermanfaat dari pandangan-pandangan lama sebagaimana kita juga menyambut setiap pemikiran baru yang berguna.
Sebagai tambahan, kita harus mencari inspirasi dari masa lalu, hidup pada saat ini, dan melihat ke masa depan, menggali hikmah yang muncul dalam setiap bahtera, dan mengukur berbagai prestasi dari pihak lain terhadap nilai-nilai yang kita miliki, dan dengan demikian, menerima apa-apa yang cocok untuk kita dan mengabaikan yang tidak bermanfaat untuk kita, dan seterusnya.
Kemasyhuran beliau, ulama besar, Syeikh Al-Qardhawi telah membagi buku “Fiqih of Jihad” ke dalam sebuah pendahuluan, sembilan BAB, dan sebuah kesimpulan. Jadi, Insya Allah, kita akan mendapatkan tambahan resensi terhadap masalah-masalah lain yang diangkat oleh Imam dalam setiap bagian pada studinya ini. Kita memohon kepada Allah SWT untuk hidayah dan pertolongan-Nya
Sumber : Dakwatuna.com
Selesai.
Fiqih Jihad Karya Yusuf Al-Qaradhawi (Sebuah Resensi Buku) III
5. Para intelektual: Studi ini juga diperlukan untuk orang-orang yang memiliki pemikiran, penelitian, dan perenungan, khususnya mereka yang tertarik dengan pemikiran Islami dan gerakan-gerakan Islam, baik moderat maupun ekstremis, yang timbul darinya, dan juga aksi-aksi kekerasan – atau terorisme sebagaimana yang telah dijelaskan – di mana sebagian dari kelompok-kelompok ini terlibat di dalamnya. Hal ini, sebagai hasilnya, menggiring beberapa orang untuk melontarkan tuduhan kekerasan dan terorisme kepada Islam, sebagaimana semua aksi kekerasan dan semua bentuk terorisme adalah Islam. Tentu saja, hal ini salah dan tidak benar.
6. Para orientalis: Non-muslim, seperti misalnya para orientalis dan mereka yang tertarik dengan studi Islam, juga membutuhkan studi semacam ini. Hal ini berlaku untuk mereka yang tertarik karena ingin mencari pengetahuan dan menemukan kebenaran, atau mereka yang tertarik dengan motivasi politik di mana dilakukan untuk melayani permintaan dari negara-negara tertentu, atau Barat secara umum. Hal ini juga berlaku untuk mereka yang memiliki motivasi keagamaan dalam rangka melayani gereja dan gagasan “Kristenisasi”.
7. Orang-orang yang terlibat dalam dialog: Studi ini sangat penting untuk mereka yang tertarik dalam dialog antar kepercayaan (antar agama), atau dialog antar budaya dan antar peradaban. Dari sudut pandang saya, studi ini merupakan sebuah batu bata yang signifikan dari dialog semacam itu, yang mana kuat di suatu waktu dan lemah di waktu yang lain; maju dan terbentur dari waktu ke waktu. Alasan untuk hal ini terletak pada pikiran yang picik dari beberapa pihak kepada pihak yang lain, kefanatikan yang mendominasi pikiran, dan pilihan cenderung kepada pemikiran turunan (warisan) daripada pemikiran yang tanpa paksaan. Tidak diragukan lagi, orang-orang tidak bisa berdialog jika mereka tidak memiliki pengetahuan tentang satu sama lain.
8. Para politisi: Selain itu, para politisi dan para pengambil-keputusan di seluruh dunia juga membutuhkan studi ini. Mereka membuat keputusan yang amat penting yang berdampak krusial pada nasib bangsa, kehidupan manusia, potensi bangsa, dan kesucian agama. Serangan mereka terhadap agama didasari pada konsep mental mereka terhadap agama tersebut. Mereka, pada kenyataannya, tidak mengetahui tentang hal ini, belum pernah membaca kitab-kitabnya atau kenal dengan biografi nabi SAW; mereka belum pernah mempelajari sejarah agama ini atau bahkan memperoleh informasi yang signifikan tentang iman dan syariat agama ini.
9. Militer: Sebagaimana para politisi membutuhkan studi ini untuk membentuk pendapat yang benar tentang jihad, begitu juga militer, baik itu dia muslim atau non-muslim. Mereka yang salah paham tentang realitas jihad di antara para pemimpin militer Barat, seperti misalnya para politisi Amerika, kebanyakan Jenderal di Eropa; juga – sayangnya – di seluruh dunia, harus membaca buku ini. Pada sisi kami, kami harus menerjemahkan buku ini untuk mereka sehingga mereka dapat membaca dan memahaminya dalam bahasa mereka sendiri. Tidak diragukan lagi, kebanyakan mereka, ketika nada logika disajikan secara jelas kepada mereka, tunduk padanya, dan tidak akan berdebat. Bahkan jika mereka perdebatkan di publik, mereka akan dikalahkan secara internal, dan ini adalah keuntungan yang besar.
10. Intelektual publik: Akhirnya, studi ini juga diperlukan oleh pembaca umum dan biasa, para intelektual yang belum diklasifikasikan di atas, muslim dan non-muslim. Orang-orang seperti ini merepresentasikan massa yang besar di berbagai negara. Mereka perlu mengetahui realitas pandangan dunia Islam dan realitas jihad di jalan Allah.
Bersambung
6. Para orientalis: Non-muslim, seperti misalnya para orientalis dan mereka yang tertarik dengan studi Islam, juga membutuhkan studi semacam ini. Hal ini berlaku untuk mereka yang tertarik karena ingin mencari pengetahuan dan menemukan kebenaran, atau mereka yang tertarik dengan motivasi politik di mana dilakukan untuk melayani permintaan dari negara-negara tertentu, atau Barat secara umum. Hal ini juga berlaku untuk mereka yang memiliki motivasi keagamaan dalam rangka melayani gereja dan gagasan “Kristenisasi”.
7. Orang-orang yang terlibat dalam dialog: Studi ini sangat penting untuk mereka yang tertarik dalam dialog antar kepercayaan (antar agama), atau dialog antar budaya dan antar peradaban. Dari sudut pandang saya, studi ini merupakan sebuah batu bata yang signifikan dari dialog semacam itu, yang mana kuat di suatu waktu dan lemah di waktu yang lain; maju dan terbentur dari waktu ke waktu. Alasan untuk hal ini terletak pada pikiran yang picik dari beberapa pihak kepada pihak yang lain, kefanatikan yang mendominasi pikiran, dan pilihan cenderung kepada pemikiran turunan (warisan) daripada pemikiran yang tanpa paksaan. Tidak diragukan lagi, orang-orang tidak bisa berdialog jika mereka tidak memiliki pengetahuan tentang satu sama lain.
8. Para politisi: Selain itu, para politisi dan para pengambil-keputusan di seluruh dunia juga membutuhkan studi ini. Mereka membuat keputusan yang amat penting yang berdampak krusial pada nasib bangsa, kehidupan manusia, potensi bangsa, dan kesucian agama. Serangan mereka terhadap agama didasari pada konsep mental mereka terhadap agama tersebut. Mereka, pada kenyataannya, tidak mengetahui tentang hal ini, belum pernah membaca kitab-kitabnya atau kenal dengan biografi nabi SAW; mereka belum pernah mempelajari sejarah agama ini atau bahkan memperoleh informasi yang signifikan tentang iman dan syariat agama ini.
9. Militer: Sebagaimana para politisi membutuhkan studi ini untuk membentuk pendapat yang benar tentang jihad, begitu juga militer, baik itu dia muslim atau non-muslim. Mereka yang salah paham tentang realitas jihad di antara para pemimpin militer Barat, seperti misalnya para politisi Amerika, kebanyakan Jenderal di Eropa; juga – sayangnya – di seluruh dunia, harus membaca buku ini. Pada sisi kami, kami harus menerjemahkan buku ini untuk mereka sehingga mereka dapat membaca dan memahaminya dalam bahasa mereka sendiri. Tidak diragukan lagi, kebanyakan mereka, ketika nada logika disajikan secara jelas kepada mereka, tunduk padanya, dan tidak akan berdebat. Bahkan jika mereka perdebatkan di publik, mereka akan dikalahkan secara internal, dan ini adalah keuntungan yang besar.
10. Intelektual publik: Akhirnya, studi ini juga diperlukan oleh pembaca umum dan biasa, para intelektual yang belum diklasifikasikan di atas, muslim dan non-muslim. Orang-orang seperti ini merepresentasikan massa yang besar di berbagai negara. Mereka perlu mengetahui realitas pandangan dunia Islam dan realitas jihad di jalan Allah.
Bersambung
Fiqih Jihad Karya Yusuf Al-Qaradhawi (Sebuah Resensi Buku) II
Syeikh yang terpelajar menulis bukunya yang berjudul Fiqih Zakat (Fiqh of Zakah), di mana dia memperoleh gelar PhD., pada tahun 1973. Tiga puluh enam tahun kemudian, beliau mempublikasikan bukunya yang berjudul Fiqih Jihad (Fiqh of Jihad), dan dalam mukadimah buku tersebut beliau menyatakan:
Saya merasa berkewajiban untuk melakukan penulisan tentang topik ini setelah Allah membuka dadaku untuk itu. Beberapa kali, sejak saya menyelesaikan buku Fiqh Zakat, terlintas dalam pikiran saya ide untuk menulis sebuah buku serupa mengenai Fiqih Jihad. Dan, beberapa kali punya kawan-kawan terhormat yang meminta saya untuk menulis tentang hal ini di mana masyarakat luas terpecah-belah. Namun, saya meminta maaf kepada mereka, memberikan alasan bahwa saya tidak memiliki semangat untuk melakukan tugas seperti itu.
Meskipun demikian, saya menulis beberapa potongan tentang hal ini di masa lalu, menunggu saat yang tepat untuk menulisnya dengan cara yang reguler, cara yang tidak terputus-putus. Hal ini karena tema jihad adalah salah satu dari berbagai topik mendasar yang harus diarahkan melalui penulisan yang sistematis dalam rangka untuk (memenuhi) kebutuhan kaum muslimin, secara khusus, dan dunia, secara umum, agar memiliki pengetahuan yang benar tentang jihad, jauh dari melewati batas ekstrim dan – sebaliknya – kelalaian.
Meskipun pada dasarnya Fiqih Zakat mengarahkan zakat sebagai salah satu kewajiban yang dikenakan oleh Islam kepada kaum muslimin dan salah satu pilar dasar Islam (rukun Islam), hal ini juga dianggap sebagai jenis jihad; ini adalah jihad dengan harta. Jenis jihad ini, sangat dihormati dan sangat diperlukan, baik pada saat ini maupun saat yang lain.
Pentingnya Jihad dalam Fiqh yang Ditulis Yusuf Al-Qardhawi
Dari baris paling pertama pada mukadimah, Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengilustrasikan pentingnya kewajiban yang telah lepas ini dan bahaya yang dihasilkan untuk ummat saat ini dan yang akan datang. Beliau mengatakan:
Tanpa jihad, garis batas ummat akan dilanggar, darah orang-orang yang ada di dalamnya akan semurah debu, tempat-tempat sucinya akan tidak lebih baik dari pasir di gurun, dan ummat tidak akan bernilai signifikan di mata musuh-musuhnya. Sebagai akibatnya, si pengecut akan mengambil hati untuk menyerang ummat, budak akan tampak di atas dengan arogan, musuh-musuh akan menguasai lahannya, mendominasinya, dan mengontrol orang-orangnya. Ini karena Allah SWT telah menjauhkan rasa takut dari hati para musuh dalam menghadapi ummat.
Jauh di masa lalu, ummat ini akan diberikan kemenangan atas musuhnya dengan jaminan rasa kagum yang ditanamkan Allah SWT ke dalam hati musuh untuk jarak satu bulan perjalanan. Lebih serius dari hal itu – atau katakanlah, salah satu alasan dibalik itu – adalah kenyataan bahwa ummat telah mengabaikan jihad, atau mungkin bahkan menghapuskannya dari agenda. Ummat telah menghapusnya dalam berbagai aspek-aspeknya: fisik, spiritual, intelektual, dan kultural.
Ke-moderat-an Syeikh Al-Qardhawi dan Fiqh Jihad
Syeikh Al-Qardhawi berbicara tentang sikap orang-orang tentang jihad, membaginya ke dalam tiga kategori. Mengenai kategori pertama, beliau mengatakan,
Ini adalah sebuah kategori yang berusaha untuk memberikan selubung kelalaian terhadap jihad dan menjauhkan jihad dari kehidupan ummat. Mereka, malahan, menganggapnya sebagai kepedulian dan peran utama mereka meningkatkan nilai-nilai spiritual dan amal-amal kebajikan ummat – sebagaimana klaim mereka –, dan mempertimbangkan hal ini sebagai jihad yang utama: perjuangan terus-menerus melawan setan dan hawa nafsu seseorang.
Mengenai kategori kedua, beliau mengatakan,
Sebagai lawan dari kategori di atas, di sana ada yang lain lagi yang mempersepsikan jihad sebagai sebuah “perjuangan melawan seluruh dunia”. Mereka tidak membedakan antara yang memerangi kaum muslimin, berdiri di jalan dakwah, atau yang mencoba menjauhkan mereka dari agamanya, dan mereka yang melebarkan jembatan perdamaian kepada kaum muslimin dan menawarkan rekonsiliasi serta pemulihan hubungan dengan mereka, tidak menggunakan pedang kepada mereka dan tidak mendukung musuh dalam melawan mereka.
Menurut kategori ini, semua orang kafir adalah sama. Orang-orang yang tergolong kategori ini percaya bahwa ketika kaum muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk memerangi orang-orang kafir hanya dengan pertimbangan kekafiran mereka, yang mereka anggap sebagai alasan yang memadai untuk memerangi orang-orang kafir tersebut.
Beliau lalu memilih pendekatan moderat yang direpresentasikan oleh kategori ketiga, beliau mengatakan,
Kategori ketiga adalah “ummat yang moderat” (ummat pertengahan) di mana Allah SWT telah memberi petunjuk kepada pendekatan moderat dan diberikan pengetahuan, kebijaksanaan, dan pemahaman yang dalam mengenai syariah dan realitas. Oleh karenanya, kategori ini tidak tergelincir kepada kelalaian dari kategori pertama yang berusaha untuk membiarkan hak ummat tanpa dipersenjatai dengan kekuatan, Al-Qur’an-nya tidak dijaga dengan pedang, serta rumah dan tempat-tempat sucinya tanpa penjaga untuk melindungi dan mempertahankan mereka.
Demikian juga, kategori ini tidak jatuh pada tindakan berlebihan dan ekstrimisme dari kategori kedua yang berusaha untuk memerangi orang-orang yang damai, dan mendeklarasikan perang melawan semua orang tanpa membeda-bedakan; putih atau hitam, di Timur atau di Barat. Tujuan mereka melakukan hal itu adalah untuk mengarahkan orang-orang ke (jalan) Allah SWT, mengantarkan mereka yang terbelenggu ke Surga dan membawa mereka secara paksa dengan tangan ke jalan yang lurus.
Mereka (kategori kedua itu) lebih lanjut menambahkan bahwa tujuan mereka adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan di depan orang-orang itu yang dibentuk oleh rezim yang zhalim yang tidak memungkinkan mereka untuk menyampaikan firman Allah dan seruan Rasul-Nya kepada masyarakat, sehingga mereka dapat mendengar dengan keras dan jelas dan bebas dari segala noda.
Kepada Siapa Buku Ini Ditujukan?
Iman Al-Qardhawi me-list beberapa kategori orang-orang yang membutuhkan buku ini dalam rangka untuk memperoleh sebuah pemahaman yang akurat terhadap tema jihad dengan jalan yang bebas dari kelalaian dan berlebihan. Seakan-akan kategori-kategori ini memadukan berbagai kategori dari seluruh masyarakat, muslim dan non-muslim, pemerintah dan yang diperintah, orang-orang sipil dan militer, dan para pemikir serta intelektual. Beliau memaparkan 10 kategori yang saya pikir mencakup kategori dari seluruh lapisan masyarakat.
1. Ulama Syariah. Kategori pertama yang membutuhkan studi semacam ini adalah para ulama bidang Syariah dan para imam fiqih, sebagaimana kebanyakan dari mereka menyuguhkan konsep-konsep yang sudah baku dan warisan budaya tentang jihad. Mereka, sebagai contoh, mempertahankan bahwa jihad adalah kewajiban kolektif dari ummat dan bahwa kewajiban ini mengharuskan kita untuk menyerbu negara-negara non-muslim sedikitnya setahun sekali, bahkan jika mereka tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap kita, hingga kini, daripada, mereka membentangkan tangan perdamaian dan rekonsiliasi. Meskipun pendapat ini menentang banyak ayat-ayat Al-Qur’an, efek dari ayat-ayat demikian – sebagaimana yang telah kami indikasikan di atas – ditiadakan dalam pandangan mereka atas dasar bahwa ayat-ayat tersebut telah dimansukh!
2. Mahasiswa-mahasiswa bidang ilmu hukum: Demikian juga, studi ini dibutuhkan oleh para ahli undang-undang dan para spesialis dalam hukum internasional, banyak dari mereka telah membentuk pandangan mereka sendiri tentang Islam dan Syariah, khususnya tentang jihad, perang, dan perdamaian. Mereka telah memperoleh pandangan-pandangan tersebut dari kutipan terkenal tertentu dari beberapa buku maupun dari informasi yang disebarkan oleh beberapa penulis dan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Orang-orang tersebut sampai batas tertentu tidak bisa disalahkan, karena para ulama Syariah sendiri bingung dalam hal ini. Maka apa yang akan terjadi dengan orang biasa?
3. Para Islamis: Lebih dari yang lain, studi tentang hal ini dibutuhkan oleh para Islamis. Oleh para “Islamis” di sini maksudnya adalah beberapa kelompok Islam yang bekerja dalam mendukung hal-hal Islami, dan yang disebut oleh beberapa pihak sebagai “kelompok politik Islam”. Kelompok-kelompok itu biasanya termasuk pemuda kebangkitan Islam di bawah bendera mereka masing-masing di berbagai negara, baik di dalam maupun di luar dunia Islam. Oleh karena itu, kelompok seperti ini, dengan perbedaan kecenderungan dan sikap mereka, apakah moderat atau ekstremis, benar-benar membutuhkan studi tentang hal ini, khususnya mereka yang dikenal dengan “kelompok kekerasan”.
4. Para sejarawan: Para sejarawan juga membutuhkan studi ini, khususnya mereka yang tertarik dengan biografi Nabi dan sejarah Islam, dan mereka yang mengintepretasikan berbagai peperangan yang dilakukan oleh Nabi SAW dengan cara yang tidak benar dan tidak adil, dengan memandang bahwa Rasulullah-lah yang memulai serangan dan perlawanan kepada para musyrikin. Mereka memberi contoh seperti perang Badar, penaklukan Mekah, dan perang Hunain. Mereka juga menyebutkan bahwa Nabi SAW memulai invasi melawan Yahudi di tempat dan di benteng mereka, menyebutkan perang Bani Qainuqa dan Bani An-Nadir, dan juga perang Tabuk di mana beliau memulai perang melawan Romawi.
Bersambung . ........
sumber: dakwatuna.com
Saya merasa berkewajiban untuk melakukan penulisan tentang topik ini setelah Allah membuka dadaku untuk itu. Beberapa kali, sejak saya menyelesaikan buku Fiqh Zakat, terlintas dalam pikiran saya ide untuk menulis sebuah buku serupa mengenai Fiqih Jihad. Dan, beberapa kali punya kawan-kawan terhormat yang meminta saya untuk menulis tentang hal ini di mana masyarakat luas terpecah-belah. Namun, saya meminta maaf kepada mereka, memberikan alasan bahwa saya tidak memiliki semangat untuk melakukan tugas seperti itu.
Meskipun demikian, saya menulis beberapa potongan tentang hal ini di masa lalu, menunggu saat yang tepat untuk menulisnya dengan cara yang reguler, cara yang tidak terputus-putus. Hal ini karena tema jihad adalah salah satu dari berbagai topik mendasar yang harus diarahkan melalui penulisan yang sistematis dalam rangka untuk (memenuhi) kebutuhan kaum muslimin, secara khusus, dan dunia, secara umum, agar memiliki pengetahuan yang benar tentang jihad, jauh dari melewati batas ekstrim dan – sebaliknya – kelalaian.
Meskipun pada dasarnya Fiqih Zakat mengarahkan zakat sebagai salah satu kewajiban yang dikenakan oleh Islam kepada kaum muslimin dan salah satu pilar dasar Islam (rukun Islam), hal ini juga dianggap sebagai jenis jihad; ini adalah jihad dengan harta. Jenis jihad ini, sangat dihormati dan sangat diperlukan, baik pada saat ini maupun saat yang lain.
Pentingnya Jihad dalam Fiqh yang Ditulis Yusuf Al-Qardhawi
Dari baris paling pertama pada mukadimah, Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengilustrasikan pentingnya kewajiban yang telah lepas ini dan bahaya yang dihasilkan untuk ummat saat ini dan yang akan datang. Beliau mengatakan:
Tanpa jihad, garis batas ummat akan dilanggar, darah orang-orang yang ada di dalamnya akan semurah debu, tempat-tempat sucinya akan tidak lebih baik dari pasir di gurun, dan ummat tidak akan bernilai signifikan di mata musuh-musuhnya. Sebagai akibatnya, si pengecut akan mengambil hati untuk menyerang ummat, budak akan tampak di atas dengan arogan, musuh-musuh akan menguasai lahannya, mendominasinya, dan mengontrol orang-orangnya. Ini karena Allah SWT telah menjauhkan rasa takut dari hati para musuh dalam menghadapi ummat.
Jauh di masa lalu, ummat ini akan diberikan kemenangan atas musuhnya dengan jaminan rasa kagum yang ditanamkan Allah SWT ke dalam hati musuh untuk jarak satu bulan perjalanan. Lebih serius dari hal itu – atau katakanlah, salah satu alasan dibalik itu – adalah kenyataan bahwa ummat telah mengabaikan jihad, atau mungkin bahkan menghapuskannya dari agenda. Ummat telah menghapusnya dalam berbagai aspek-aspeknya: fisik, spiritual, intelektual, dan kultural.
Ke-moderat-an Syeikh Al-Qardhawi dan Fiqh Jihad
Syeikh Al-Qardhawi berbicara tentang sikap orang-orang tentang jihad, membaginya ke dalam tiga kategori. Mengenai kategori pertama, beliau mengatakan,
Ini adalah sebuah kategori yang berusaha untuk memberikan selubung kelalaian terhadap jihad dan menjauhkan jihad dari kehidupan ummat. Mereka, malahan, menganggapnya sebagai kepedulian dan peran utama mereka meningkatkan nilai-nilai spiritual dan amal-amal kebajikan ummat – sebagaimana klaim mereka –, dan mempertimbangkan hal ini sebagai jihad yang utama: perjuangan terus-menerus melawan setan dan hawa nafsu seseorang.
Mengenai kategori kedua, beliau mengatakan,
Sebagai lawan dari kategori di atas, di sana ada yang lain lagi yang mempersepsikan jihad sebagai sebuah “perjuangan melawan seluruh dunia”. Mereka tidak membedakan antara yang memerangi kaum muslimin, berdiri di jalan dakwah, atau yang mencoba menjauhkan mereka dari agamanya, dan mereka yang melebarkan jembatan perdamaian kepada kaum muslimin dan menawarkan rekonsiliasi serta pemulihan hubungan dengan mereka, tidak menggunakan pedang kepada mereka dan tidak mendukung musuh dalam melawan mereka.
Menurut kategori ini, semua orang kafir adalah sama. Orang-orang yang tergolong kategori ini percaya bahwa ketika kaum muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk memerangi orang-orang kafir hanya dengan pertimbangan kekafiran mereka, yang mereka anggap sebagai alasan yang memadai untuk memerangi orang-orang kafir tersebut.
Beliau lalu memilih pendekatan moderat yang direpresentasikan oleh kategori ketiga, beliau mengatakan,
Kategori ketiga adalah “ummat yang moderat” (ummat pertengahan) di mana Allah SWT telah memberi petunjuk kepada pendekatan moderat dan diberikan pengetahuan, kebijaksanaan, dan pemahaman yang dalam mengenai syariah dan realitas. Oleh karenanya, kategori ini tidak tergelincir kepada kelalaian dari kategori pertama yang berusaha untuk membiarkan hak ummat tanpa dipersenjatai dengan kekuatan, Al-Qur’an-nya tidak dijaga dengan pedang, serta rumah dan tempat-tempat sucinya tanpa penjaga untuk melindungi dan mempertahankan mereka.
Demikian juga, kategori ini tidak jatuh pada tindakan berlebihan dan ekstrimisme dari kategori kedua yang berusaha untuk memerangi orang-orang yang damai, dan mendeklarasikan perang melawan semua orang tanpa membeda-bedakan; putih atau hitam, di Timur atau di Barat. Tujuan mereka melakukan hal itu adalah untuk mengarahkan orang-orang ke (jalan) Allah SWT, mengantarkan mereka yang terbelenggu ke Surga dan membawa mereka secara paksa dengan tangan ke jalan yang lurus.
Mereka (kategori kedua itu) lebih lanjut menambahkan bahwa tujuan mereka adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan di depan orang-orang itu yang dibentuk oleh rezim yang zhalim yang tidak memungkinkan mereka untuk menyampaikan firman Allah dan seruan Rasul-Nya kepada masyarakat, sehingga mereka dapat mendengar dengan keras dan jelas dan bebas dari segala noda.
Kepada Siapa Buku Ini Ditujukan?
Iman Al-Qardhawi me-list beberapa kategori orang-orang yang membutuhkan buku ini dalam rangka untuk memperoleh sebuah pemahaman yang akurat terhadap tema jihad dengan jalan yang bebas dari kelalaian dan berlebihan. Seakan-akan kategori-kategori ini memadukan berbagai kategori dari seluruh masyarakat, muslim dan non-muslim, pemerintah dan yang diperintah, orang-orang sipil dan militer, dan para pemikir serta intelektual. Beliau memaparkan 10 kategori yang saya pikir mencakup kategori dari seluruh lapisan masyarakat.
1. Ulama Syariah. Kategori pertama yang membutuhkan studi semacam ini adalah para ulama bidang Syariah dan para imam fiqih, sebagaimana kebanyakan dari mereka menyuguhkan konsep-konsep yang sudah baku dan warisan budaya tentang jihad. Mereka, sebagai contoh, mempertahankan bahwa jihad adalah kewajiban kolektif dari ummat dan bahwa kewajiban ini mengharuskan kita untuk menyerbu negara-negara non-muslim sedikitnya setahun sekali, bahkan jika mereka tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap kita, hingga kini, daripada, mereka membentangkan tangan perdamaian dan rekonsiliasi. Meskipun pendapat ini menentang banyak ayat-ayat Al-Qur’an, efek dari ayat-ayat demikian – sebagaimana yang telah kami indikasikan di atas – ditiadakan dalam pandangan mereka atas dasar bahwa ayat-ayat tersebut telah dimansukh!
2. Mahasiswa-mahasiswa bidang ilmu hukum: Demikian juga, studi ini dibutuhkan oleh para ahli undang-undang dan para spesialis dalam hukum internasional, banyak dari mereka telah membentuk pandangan mereka sendiri tentang Islam dan Syariah, khususnya tentang jihad, perang, dan perdamaian. Mereka telah memperoleh pandangan-pandangan tersebut dari kutipan terkenal tertentu dari beberapa buku maupun dari informasi yang disebarkan oleh beberapa penulis dan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Orang-orang tersebut sampai batas tertentu tidak bisa disalahkan, karena para ulama Syariah sendiri bingung dalam hal ini. Maka apa yang akan terjadi dengan orang biasa?
3. Para Islamis: Lebih dari yang lain, studi tentang hal ini dibutuhkan oleh para Islamis. Oleh para “Islamis” di sini maksudnya adalah beberapa kelompok Islam yang bekerja dalam mendukung hal-hal Islami, dan yang disebut oleh beberapa pihak sebagai “kelompok politik Islam”. Kelompok-kelompok itu biasanya termasuk pemuda kebangkitan Islam di bawah bendera mereka masing-masing di berbagai negara, baik di dalam maupun di luar dunia Islam. Oleh karena itu, kelompok seperti ini, dengan perbedaan kecenderungan dan sikap mereka, apakah moderat atau ekstremis, benar-benar membutuhkan studi tentang hal ini, khususnya mereka yang dikenal dengan “kelompok kekerasan”.
4. Para sejarawan: Para sejarawan juga membutuhkan studi ini, khususnya mereka yang tertarik dengan biografi Nabi dan sejarah Islam, dan mereka yang mengintepretasikan berbagai peperangan yang dilakukan oleh Nabi SAW dengan cara yang tidak benar dan tidak adil, dengan memandang bahwa Rasulullah-lah yang memulai serangan dan perlawanan kepada para musyrikin. Mereka memberi contoh seperti perang Badar, penaklukan Mekah, dan perang Hunain. Mereka juga menyebutkan bahwa Nabi SAW memulai invasi melawan Yahudi di tempat dan di benteng mereka, menyebutkan perang Bani Qainuqa dan Bani An-Nadir, dan juga perang Tabuk di mana beliau memulai perang melawan Romawi.
Bersambung . ........
sumber: dakwatuna.com
Langganan:
Postingan (Atom)