Social Icons

Pages

Minggu, 01 Juni 2008

Menggugat Hari Jadi Kebangkitan Nasional

Menggugat Hari Jadi Kebangkitan Nasional

Oleh : Iswandi Khairy Ramen

Ketua KWACI (Kelompok Wacana dan Aksi) Loteng.

Kebangkitan nasional kini telah genap 100 tahun. Banyak macam cara merayakannya. Semua stasiun televisi menayangkan iklan kebangkitan nasional, dengan dibubuhi audio visual yang "menggigit", membuat semangat nasional orang yang menontonnya jadi tumbuh dengan penuh gelora. Sanggup membuat bulu kuduk berdiri dan merinding. Mei memang bulan yang menjadi simbol tumbuh kembangnya kebangkitan nasional, bulan yang menjadi titik awal penyatuan semangat bangsa untuk merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah. Tepatnya tangal 20 mei 1908, terbentuk organisasi yang dijadikan simbol perlawanan dan kebangkitan nasional. Budi utomo adalah organisasi tersebut yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa Stovia, di antaranya dr. sutomo, yang selanjutnya 20 mei dijadikan sebagai hari kebangkitan nasional. Catatan sejarah menegaskan akan hal itu.

Namun belakangan muncul wacana untuk merubah hari jadi kebangkitan nasional tersebut. Sejarawan seperti Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara dan kaum muda kampus, menuntut agar hari jadi kebangkitan nasional diubah, dengan menjadikan kelahiran Sarekat Dagang Islam sebagai patokan hari jadi kebangkitan nasional. penulis pun sepakat dengan tuntutan tersebut. Kenapa demikian?

Seiring perjalanan gejolak reformasi, mulai tumbuhnya kedewasaan berdemokrasi, kedewasaan dan kebebasan berpendapatpun medapatkan ruangnya. Runtuhnya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, menjadi angin yang segar bagi beberapa sejarawan dan kaum muda intelektual untuk berupaya meluruskan sejarah yang kerap dikaburkan. Ada anggapan bahwa kekuasaan orde baru dibangun di atas pembohongan sejarah yang ironisnya sampai saat ini, pemerintah belum berupaya untuk meluruskan sejarah bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum mata pelajaran sejarah yang tidak mengalami perubahan berarti. Kecendrungan atas dasar kepentingan politis (mendapatkan, mempertahankan dan memperkuat kekuasaan), masih mendominasi penulisan sejarah bangsa. Tentang perang Diponogoro misalnya, masih jelas terlihat kebohongan yang ditulis di buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk kelas XI yang ditulis oleh I Wayan Badrika terbitan Erlangga. Di halaman 186 tertulis sebab-sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Repo. Ridwan Saidi, pakar Zionisme dalam sebuah dialog menjelaskan bahwa Pangeran Diponegoro tdak akan sepicik itu berperang hanya gara-gara tanah, melainkan perang tersebut terjadi karena Pangeran Diponegoro tidak menghendaki adanya kolonialisme dan karena kecintaannya untuk membela Islam dan bangsa. Begitu juga dengan Sarekat Dagang Islam (SDI), yang seharusnya lebih pantas dijadikan patokan hari kebangkitan nasional, bukan Budi Utomo (BU).

Beberapa hal yang harus dipahami agar pertanyaan di atas bisa terjawab, selain juga membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan kita dalam membaca fakta sejarah yang sesungguhnya. Pertama, yang harus diluruskan adalah mengenai waktu kelahiran SDI. Beberapa catatan mengungkapkan bahwa SDI terbentuk pada tahun 1909, setahun setelah Budi Utomo yang lahir pada tanggal 20 Mei 1908. Maka SDI terbentuk karena inspirasi dari organisasi "kaum jawa dan Madura" Budi Utomo tersebut. Letak pelurusannya adalah bahwa hal tersebut adalah sebuah kebohongan dan bentuk pembohongan. Sesungguhnya SDI lahir pada tanggal 16 Oktober 1905. Kelahiran SDI sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan bangsa di bidang ekonomi yang pada saat itu dikuasai oleh penjajah dan kaum Tionghoa. H Samanhudi (pendiri SDI) sangat memahami bahwa bentuk perlawanan penjajahan yang paling mendasar yang berupa pengurasan dan monopoli ekonomi, dengan memperkuat basis ekonomi bangsa.

Kedua, perbedaan yang sangat mencolok lainnya antara SDI dan BU (walaupun sebenarnya hal ini tidak pantas untuk diperbandingkan) adalah ruang lingkup gerakan. SDI memiliki cabang yang cukup luas. Tidak hanya di pulau Jawa semata. Karena SDI mendedikasikan dirinya untuk perjuangan bangsa, maka SDI memiliki cabang di hampir seluruh nusantara, di antaranya Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Sementara BU sendiri, terkesan sangat eksklusif karena hanya mendedikasikan perjuangannya untuk masyarakat Jawa dan Madura semata. BU dengan tegas menolak keanggotaan dari luar pulau Jawa dan Madura. BU menganggap keanggotaan orang dari luar Jawa dan Madura adalah ancaman tersendiri bagi eksistensi organisasinya. Sungguh kenyataan yang pahit, ditengah kepungan kolonialisme, sesama bangsa masih ada rasa curiga dan kekhawatiran. Apakah ini yang dikatakan sebagai nasionalisme, jika ya, sungguh pengertian nasioanalisme yang sangat sempit lagi menyesatkan. Patokan ruang lingkup ini seharusnya dijadikan landasan utama untuk menilai siapa yang nasionalis dan tidak. Padahal nasional berasal dari kata nation, yang berarti bangsa. Bangsa adalah sebuah istilah politis untuk menyebut kelompok masyarakat dalam sebuah teritorial Negara. Maka konsep bangsa ditujukan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Bangsa Indonesia berarti masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada pembedaan etnis, suku dan agama.

Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara mengatakan bahwa BU tidak menghendaki nasionalisme dan menghadirkan gerakan yang anti terhadap gerakan Islam. Hal ini bisa dilihat dari brosur terbitan BU, yang bernama Djawa Hisworo, yang selalu menyerukan caci maki kepada Rasulullah dan ajaran Islam. KH Ahmad Dahlan pernah meminta agar diadakan pengajian keislaman di dalam tubuh BU. Namun, mayoritas BU menolak usulan tersebut, yang menyebabkan KH Ahmad Dahlan keluar dari keanggotaan BU.

Ketiga, faktor yang harus menjadi alasan untuk mengkaji ulang hari jadi kebangkitan nasional adalah dengan melihat tokoh-tokoh yang berada dalam masing-masing organisasi tersebut. SDI didirikan oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan masyarakat, seperti H. Damanhudi, sehingga mereka tahu betul kebutuhan dasar masyarakat. Dan SDI terbuka umum bagi masyarakat untuk ikut bergabung dalam perjuangan melawan kolonialisme. Tidak dibatasi oleh teritorial, yang terpenting memiliki semangat perlawanan maka siapapun dan dari golongan apapun boleh bergabung. Hal ini bertolak belakang dengan tokoh dan keanggotaan BU. Tokoh-tokoh dan keanggotannya hanya diisi oleh kaum priayi (bangsawan) dan orang-orang terpelajar. Kenyataan ini bisa dilihat dari pemimpin-pemimpin BU. Kebanyakan para pemimpin berasal dari kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

BU pada puncak kejayaannya pada tahun 1909 hanya memiliki anggota sebanyak 10.000 orang. Sementara Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah nama menjadi SI, jumlah anggotanya pada tahun 1916 SI memiliki 360.000 anggota, yang kemudian meningkat menjadi dua juta pada tahun 1919.

Dalam buku yang berjudul Sejarah untuk Kelas 2 SMA yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Habib Mustopo dkk, yang diterbitkan oleh Yudhistira tahun 2004, keontetikan penulisan tentang pergerakan nasional perlu dipertanyakan. Pada Bab 5, sub judul "Organisasi-organisasi Pergerakan Nasional" hal 181-184, organisasi pergerakan yang ditulis di nomor urut pertama adalah Budi Utomo. Prioritas ini adalah bagian dari pengaburan akan sejarah SDI. Karena SDI tidak disinggung sedikitpun. Memang di nomor urut dua, organisasi yang ditulis adalah Sarekat Islam (S I). Untuk penegasan bahwa SI tidak bisa dipisahkan dengan SDI. Karena SI merupakan metamorphosis dari SDI. Pada tahun 1912, terjadi kekacauan anti Tionghoa, di mana SDI sebagai gerakan melawan perekonomian Tionghoa, dikhawatirkan oleh pemerintah colonial, sehinga SDI harus dibubarkan. Sebagai tindakan antisipasi pemberangusan gerakan, SDI kemudian mengganti namanya menjadi SI. Dalam buku sejarah tersebut, tidak terdapat uraian yang jelas tentang waktu dari kelahiran SI. Penulis hanya mengatakan bahwa SI lahir tiga tahun setelah BU berdiri.

Dari sedikit pembanding di atas, maka sudah sepantasnya momen kebangkitan nasional dirubah demi menghormati dan menghargai para pendahulu kita yang telah merintis kemerdekaan dengan segenap jiwa dan raganya. Dewasalah kita, demi kemurnian sejarah bangsa. Dan untuk kaum muda, tetaplah kritis untuk mengungkap fakta sejarah lainnya. Bagi sejarawan yang telah berumur, mulailah mengajarkan tentang kejujuran pada kami, bangsa yang senantiasa membanggakan kebenaran.