Social Icons

Pages

Senin, 25 Februari 2008

Citra Soeharto di Televisi

Oleh: Sudaryono Achmad
Penulis adalah seorang pengamat media, sastrawan dan saat ini mendapat amanah di Divisi Media, Dept. Komunikasi & Informasi, Humas KAMMI Pusat periode 2006/2008.

Apa manfaat pemberitaan sakitnya Pak Harto bagi publik ?. Saya agak lama memikirkan hal itu. Hampir setiap hari semenjak Pak Harto dirawat di rumah sakit, televisi swasta kita semuanya berlomba-lomba memberitakannya. Tak lupa menaruh wartawan khusus dalam peliputan tersebut. Bagi saya, televisi swasta kita telah berlebihan, bahkan gegabah untuk rame-rame membuat citra baik atas diri Soeharto, seolah lupa akan sepak terjang kediktatoran dan despotiknya selama 32 tahun berkuasa.
Bagi publik awam, apalagi rakyat di tanah air yang masih bergelimang kemiskinan, berita sakitnya Soeharto tak banyak punya pengaruh besar. Idealnya, kalaupun toh sosok tersebut mempunya nilai berita yang penting, tetapi melebih-lebihkan pemberitaan, apalagi mencoba membangun citra baik, tentu menyimpan sebuah persoalan tersendiri. Agak sulit menjelaskan fenomena tersebut. Yang paling mudah hanyalah soal saham-saham sebagian besar perusahaaan televisi swasta yang masih dikuasai keluarga cendana. Inilah yang membuat kita maklum sekaligus jengkel.
Dalam ranah studi media, terutama peminat cultural studies akan terlihat jelas bagaimana proses pembodohan publik ini berjalan. Logika-logika rasional dan argumen “ilmiah” bisa menjelaskan hal tersebut. Meminjam terminologi Jean Baudrillard (1981) dalam “Simulation” yang kerap dipopulerka oleh Yasraf Piliang, televisi swasta kita telah melakukan “Simulakra Media”, memproduksi segala kepalsuan (false) dan menyimpang dari rujukan (referent) kemudian menciptakan topeng-topeng atas citra baik Soeharto.
Lebih jelasnya, logika tersebut diantaranya;
Pertama, logika citra (logics of image). Televisi swasta kita mencoba untuk terus menerus membangun citra baik atas diri Soeharto. Inilah “ideologi” yang dominan atas berbagai tayangan yang ada, sampai saat ini.
Kedua, logika tontonan (logics of spectacle). Televisi swasta kita rame-rame menayangkan acara doa bersama masyarakat. Sementara, dalam sebuah kesempatan, beberapa mahasiswa berdemostrasi di rumah sakit tempat Soeharto di rawat, judul berita yang muncul “Mahasiswa demo, jalanan macet”. Ini bukti kepada siapa media berpihak.
Ketiga, logika diskontinuitas (logics of discontinuity). Media televisi kita mencoba untuk memutus hubungan dengan sepak terjang Soeharto sebelum 1998. Tayangan yang ditonjolkan adalah “Soeharto kini” yang mana masyarakat masih mengelu-elukan. Sejarah seolah terlupakan.
Keempat, logika diinformasi (logics of disinformation). Hal ini tampak dari tayangan talk show seputar kasus hukum Soeharto yang tanpa frame. Hasilnya, adalah keruwetan dan kekacauan informasi. Publik dibuat bingung dengan terpaan-terpaan informasi tanpa ada “benang merahnya”.
Inilah, bukti nyata bagaimana peran media (televisi) kita berjalan. Dan, kita menjadi tahu dan paham, kepada siapakah sebenarnya media kita sekarang ini berpihak. Untuk itu, publik mesti jeli memilah dan memilih informasi yang ditonton. Sikap kritis perlu dikedepankan agar kita tidak terhanyut pada kesesatan informasi yang diproduksi media. (caesar)

sumber :
http://www.kammi.or.id

0 komentar: