Social Icons

Pages

Rabu, 10 September 2008

PERANG KHAIBAR

Sekembalinya dari Hudaibiyah, Rasulullah saw. tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah dan sebagian bulan Muharram. Di akhir bulan Muharram beliau segera mempersiapkan langkah berikutnya yang telah beliau jadikan khiththah dalam politik luar negerinya, yaitu berangkat menuju Khaibar. Langkah sebelumnya telah berhasil dengan gemilang. Melalui Perjanjian Hudaibiyah, beliau mampu memecah koalisi politik dan militer (kafir Quraisy dan kaum Yahudi) sekaligus mengisolasi pengaruh politik Makkah dari kawasan Jazirah Arab. Rasulullah saw. merasa aman dari ancaman yang berasal dari Selatan (kota Makkah). Tinggal menuntaskan ancaman dari wilayah Utara (yaitu Khaibar) dengan menyerang mereka secara tiba-tiba dan tak terduga.


Sekembalinya dari Hudaibiyah, Rasulullah saw. tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah dan sebagian bulan Muharram. Di akhir bulan Muharram beliau segera mempersiapkan langkah berikutnya yang telah beliau jadikan khiththah dalam politik luar negerinya, yaitu berangkat menuju Khaibar. Langkah sebelumnya telah berhasil dengan gemilang. Melalui Perjanjian Hudaibiyah, beliau mampu memecah koalisi politik dan militer (kafir Quraisy dan kaum Yahudi) sekaligus mengisolasi pengaruh politik Makkah dari kawasan Jazirah Arab. Rasulullah saw. merasa aman dari ancaman yang berasal dari Selatan (kota Makkah). Tinggal menuntaskan ancaman dari wilayah Utara (yaitu Khaibar) dengan menyerang mereka secara tiba-tiba dan tak terduga.
Rasulullah saw. menunjuk Numailah bin Abdullah al-Laitsi sebagai imam sementara di Madinah selama kepergiannya ke Khaibar dan menyerahkan bendera perang yang berwarna putih (liwa) kepada Ali bin Abi Thalib.
Rasulullah saw. dan pasukannya menempuh perjalanannya dengan sangat cepat untuk memberi kesan serangan dadakan. Kaum Muslim tiba di Khaibar malam hari. Pagi harinya para pekerja di Khaibar yang biasa berangkat pagi-pagi untuk bekerja dengan membawa sekop dan keranjang tidak menyangka bahwa di depan benteng-benteng mereka telah berkemah pasukan kaum Muslim. Tatkala mereka menyaksikan Rasulullah saw. dan pasukannya, mereka terkejut seraya berteriak, "Muhammad bersama pasukannya!" Mereka lari terbirit-birit. Rasulullah saw. bersabda, "Allâhu akbar, hancurlah Khaibar. Apabila kita tiba di pekarangan suatu kaum, sungguh amat buruk pagi hari kaum yang telah diperingatkan."
Rasulullah saw. menguasai kebun-kebun Khaibar sedikit demi sedikit, satu demi satu. Benteng penduduk Khaibar yang pertama kali beliau taklukkan adalah Benteng Na’im, lalu Benteng al-Qamush, dan kemudian Benteng Bani Abu al-Huqaiq. Dari mereka, Rasulullah saw. memperoleh banyak tawanan wanita, di antaranya Shafiyah binti Huyay bin Akhthab, istri Kinanah bin ar-Rabi’ bin Abu al-Huqaiq. Shafiyah inilah yang kemudian diperistri beliau.
Setelah berhasil menaklukkan benteng-benteng Khaibar dan perkebunannya, Rasulullah saw. meneruskan perjalanannya hingga tiba di dua benteng lainnya, yaitu al-Wathih dan as-Sulalim. Kedua benteng Khaibar inilah yang ditaklukkan paling akhir.
Rasulullah saw. mengepung penduduk Khaibar di kedua benteng mereka, yaitu al-Wathih dan as-Sulalim. Tatkala mereka yakin akan kalah, mereka meminta beliau untuk mengasingkan (mengusir mereka) ke suatu tempat dan tidak perlu membunuh mereka, sebagaimana yang dilakukan terhadap Bani Qainuqa dan Bani Nadhir di Madinah. Beliau menerima permintaan mereka. Saat itu beliau sudah menguasai semua kebun penduduk Khaibar, as-Syiqq, Nathah, dan al-Katibah. Beliau juga telah menguasai benteng lainnya, kecuali benteng al-Wathih dan as-Sulalim.
Akhirnya, Rasulullah saw. berdamai dengan mereka. Hasil perjanjian tersebut dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Orang-orang Yahudi Khaibar dibiarkan tinggal di sana, dengan syarat, hasil kebun mereka dibagi dua dengan beliau, dan jika beliau ingin mengusir mereka maka beliau berhak melakukannya kapan saja. Rasulullah saw. juga melakukan perjanjian seperti itu dengan penduduk Fadak. Dengan demikian. Khaibar termasuk fa’i bagi kaum Muslim, sedangkan Fadak khusus milik Rasulullah saw. karena tidak ditaklukkan melalui pasukan berkuda maupun pejalan kaki.

Pembagian Khaibar
Harta kekayaan Khaibar yang dibagi-bagi adalah asy-Syiqq, Nathah, dan al-Katibah. Asy-Syiqq dan Nathah dibagikan kepada kaum Muslim karena memang bagian mereka. Untuk al-Katibah, seperlimanya untuk Allah, Rasulullah saw., sanak kerabat beliau, anak-anak yatim, orang-orang miskin, makanan untuk istri-istri beliau, dan makanan untuk orang yang menjadi penghubung beliau dengan penduduk Fadak yang membawa perdamaian. Di antara mereka adalah Muhaiyyishah bin Mas‘ud, saat itu diberi 30 wasq gandum dan 30 wasq kurma. Khaibar dibagi-bagikan kepada para sahabat yang turut hadir dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, yang turut serta dalam Perang Khaibar, dan yang tidak turut hadir, yaitu Jabir bin Abdullah bin Amr bin Haram. Rasulullah saw. memberikan kepadanya bagian sebagaimana orang yang turut serta dalam Perang Khaibar.
Lembah Khaibar mencakup as-Surair dan Khas. Kedua lembah itu diberikan Rasulullah saw. kepada Jabir bin Abdullah. Nathah dan Syiqq memiliki 15 bagian. Nathah dibagi-bagi lagi menjadi lima bagian dan asy-Syiqq tiga belas bagian; lalu dibagi menjadi 1.800 bagian. Sebab, jumlah bagian para sahabat terhadap harta kekayaan Khaibar adalah 1.800 bagian. Pasukan pejalan kaki berjumlah 1.400 orang dan pasukan berkuda berjumlah 200 orang. Setiap kuda memperoleh dua bagian dan penunggangnya satu bagian. Setiap bagian memiliki seorang koordinator yang membawahi 100 orang, sehingga jumlah total bagian tersebut adalah 18 buah.
Rasulullah saw. membagi al-Katibah, yaitu lembah Khas, kepada sanak keluarganya dan beberapa lelaki dan wanita kaum Muslim. Beliau memberi Fathimah 200 wasq, Ali bin Abi Thalib 100 wasq, Usamah bin Zaid 200 wasq biji-bijian, Aisyah Ummul Mukminin 200 wasq, Abu Bakar bin Abu Quhafah 100 wasq, Aqil bin Abu Thalib 140 wasq, anak-anaknya Ja‘far 50 wasq, Rabi‘ah bin al-Harits 100 wasq, ash-Shalth bin Makhramah dan dua orang anaknya 100 wasq, 40 wasq di antaranya untuk ash-Shalth, Qais bin Makhramah 30 wasq, Abu al-Qasim bin Makhramah 40 wasq, anak-anak perempuan Ubaidah bin al-Harits dan anak perempuan al-Hushain bin al-Harits 100 wasq, anak-anak Ubaid bin Abdu Yazid 60 wasq, anak Aus bin Makhramah 30 wasq, Misthah bin Atsatsah dan anak Ilyas 50 wasq, Ummu Rumaitsah 40 wasq, Nu’aim bin Hindun 30 wasq, Buhainah binti al-Harits 30 wasq, Uzair bin Abdu Yazid 30 wasq, Ummu al-Hakam binti az-Zubair bin al-Muthalib 30 wasq, Jumanah binti Abu Thalib 30 wasq, Ummu al-Arqam 50 wasq, Abdurrahman bin Abu Bakar 40 wasq, Hamnah binti Jahsy 30 wasq, Ummu az-Zubair 40 wasq, Dzuba’ah binti az-Zubair 40 wasq, anak Abu Khunais 30 wasq, Ummu Thalib 40 wasq, Abu Bashrah 20 wasq, Numailah al-Kalbi 50 wasq, Abdullah bin Wahb dan kedua anaknya 90 wasq, kedua anaknya memperoleh 40 wasq dari bagian tersebut, Ummu Habib binti Jahsy 30 wasq, Malku bin Abdah 30 wasq, dan istri-istri beliau 700 wasq.
Demikianlah, batu-batu besar yang selama ini menghambat perjalanan dakwah kaum Muslim di daerah Jazirah Arab seluruhnya runtuh, dan jalan untuk menaklukkan seluruh kawasan Hijaz dan Nejd sudah di pelupuk mata.
Sejak ditaklukkannya daerah Khaibar, Fadak, Wadi al-Qurra, dan sekitarnya, khtiththah politik luar negeri Rasulullah saw. memiliki corak yang berbeda dengan sebelumnya. Sebab, sejak itu beliau mulai berhadap-hadapan secara langsung dengan negara-negara dan kekuatan adidaya saat itu, yaitu Romawi (Byzantium) dan Persia. [AF]