Social Icons

Pages

Senin, 31 Maret 2008

BILA ORANG LAIN BERBUAT KESALAHAN

BILA ORANG LAIN BERBUAT KESALAHAN

KH. Abdullah Gymnastiar


Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang pasti
tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja
adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh
kesombongan, semakin hati suka pamer, riya', penuh kedengkian, akan habislah
seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh
sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih dan lurus,
karena memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang
berhati lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau
hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.


Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang trampil bening
hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri
kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga akan berbuat
salah, teman kantor kita akan berbuat salah. atasan di kantor akan berbuat salah--karena
memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya
kesalahannya, yang jadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang
lain.


Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tehniknya adalah tanya
pada diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita
ketika kita berbuat salah?! Kita sangat berharap agar orang lain bisa memberitahu
kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap
santun dalam menyikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah
besar atau bahkan mempermalukan kita kita didepan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan,
kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin
diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa
berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika
orang lain berbuat salah, kita malah mencaci-maki, menghina, memvonis, memarahi,
bahkan tidak jarang kita mendzolimi..??!!


Ah Sahabat, seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah,
apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah
denganbersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita
jadi pemimpin, dalam skala apapun kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa?
Karena yang dipimpin kualitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin.
Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.


Oleh karena itu, andaikata ada orang melakukan kesalahan, maka
sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang yang berbuat salah
ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah? Karena ada orang yang berbuat salah
dan dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana,
ada seorang wanita dari desa yang dibawa kekota untuk bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa
bersalah ketika kran-kran air dikamar mandi, toilet, wastafel tidak dimatikan
sehingga meluber terbuang percuma, mengapa? Karena didesanya pancuran air untuk
mandi tidak ada yang pakai kran, didesanya juga tidak ada kewajiban membayar
biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu melimpah ruah.
Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda.
Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa
ini suatu kesalahan.


Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi
tahu, bukannya malah memarahi, memaki dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin
kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana
mungkin kita memarahi perilaku anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku
orang dewasa seumur kita? Misal, dirumah ada pembantu yang umurnya baru 24 tahun,
sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan
orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat
begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang
pengalaman begitu panjang yang kita lalui.


Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sehabis diopname beberapa
hari dirumah sakit karena diuji sakit. Saat tiba dirumah, ada kabar tidak enak,
yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan,"Kenapa
ini santri bekerja kok nggak sungguh-sungguh? Lihat akibatnya, kita jadi rugi!
Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!". Tapi, alhamdulillah, istri
mengingatkan,"Sekarang ini Aa umurnya 32 tahun, santri yang jaga umurnya
18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain
melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini sementara dia ilmunya,
kemampuannya dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan
yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa
jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin jangankan kita mampu untuk jaga toko".
Subhanallah, pertolongan Alloh datang dari mana saja. Oleh karena itu, kalau
melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini tahu atau tidak
bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya
malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya,"De, ini salah harusnya begini".
Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu
kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahannya dirinya. Selalu kita bantu
orang lain mengetahui kesalahannya.


Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya,
karena ada orang yang tahu itu suatu masalah, tpai dia tidak tahu harus bagaimana
menyelesaikannya? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang berbuat salah
mengetahu jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih
berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suatu masalah di kamar yang paling pojok
yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun,
"Wah, ini masalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi". Dia
tahu ini masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus
bantu, tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah,
tapi membantu dia supaya bisa menyelesaikan masalah, namun kelemahan bantuan
ini yaitu ketika kita membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang
ini akan nyantel terus, ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih
berbahaya lagi kita akan membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah.
Bantuan yang terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.


Dan tahap ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar
tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan
masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, karena apa? Karena
anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga
kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa
kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan,
apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini? Lalu apa
yang berharga pada diri kita? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain
salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.


Nah sahabat, selalulah yang kita lakukan adalah berusaha membantu
agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah
suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara
memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat
dalam memperbaiki kesalahan dirinya.


Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan
mengingatkan dia tentang pentingnya shalat, membantu mengajarinya tata cara
shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap bersemangat
untuk melaksanakan shalat secara istiqomah. Lihat pemabuk, justru harus kita
bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana
cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam
posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu
untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci
kepada siapapun. Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa
meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan,
dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan.